Megibung. (Dok. Pemkab Karangasem)
Riza Aslam Khaeron • 2 March 2025 14:42
Jakarta: Bulan Ramadan selalu menjadi momen istimewa bagi umat Muslim di berbagai belahan dunia, termasuk di Bali. Meskipun dikenal sebagai daerah dengan mayoritas penduduk Hindu, Bali juga memiliki komunitas Muslim yang menjaga tradisi unik dalam menyambut Ramadan.
Salah satu tradisi yang masih lestari hingga kini adalah Megibung, sebuah ritual makan bersama yang mencerminkan kebersamaan dan persaudaraan. Tradisi ini tidak hanya diwarisi oleh masyarakat Hindu Bali, tetapi juga diadaptasi oleh komunitas Muslim dalam suasana Ramadan.
Sejarah Megibung
Melansir laman Pemerintahan Kabupaten Karangasem, tradisi Megibung berasal dari Raja Karangasem, I Gusti Agung Anglurah Ketut Karangasem, yang memperkenalkannya pada tahun 1614 Caka atau 1692 Masehi.
Megibung pertama kali dilakukan saat raja dan pasukannya beristirahat setelah ekspedisi militer menaklukkan raja-raja di Lombok. Raja Karangasem menganjurkan para prajuritnya untuk makan bersama dalam posisi melingkar dengan makanan yang ditempatkan di tengah-tengah mereka. Bahkan, sang raja sendiri turut makan bersama prajuritnya.
Sejak saat itu, tradisi ini diwariskan dari generasi ke generasi dan masih dilakukan hingga saat ini, terutama dalam upacara adat dan keagamaan di Karangasem. Tradisi ini menjadi simbol kebersamaan, egalitarianisme, dan penghormatan terhadap leluhur.
Megibung juga menjadi bagian penting dalam berbagai perayaan, termasuk upacara pernikahan, peringatan hari besar keagamaan, hingga acara adat desa.
Mengutip laman Indonesia.go.id, dalam tradisi Megibung terdapat beberapa istilah khusus yang digunakan. Sele adalah sebutan untuk orang yang bergabung dan duduk bersama dalam satu kelompok makan.
Gibungan merujuk pada segepok nasi yang disajikan di atas dulang atau nampan dengan alas daun pisang, sedangkan Karangan adalah lauk pauk yang terdiri dari berbagai hidangan khas Bali, seperti lawar, kekomoh, urab, padamare, urutan, marus, balah, dan sate. Penyajian makanan dalam Megibung mengikuti urutan tertentu, dimulai dengan kekomoh dan urab, lalu dilanjutkan dengan lawar, daging, dan balah sebagai hidangan penutup.
Dulu, satu sela atau satu porsi nasi gibungan dinikmati oleh delapan orang. Namun, seiring berjalannya waktu, kini satu sela dapat dinikmati oleh empat hingga tujuh orang, tergantung pada jumlah peserta dan kapasitas konsumsi mereka.
Tradisi ini tidak hanya tentang berbagi makanan, tetapi juga menjaga nilai kesetaraan, di mana semua orang duduk bersama tanpa membedakan status sosial.
Prosesi Megibung
Tradisi Megibung diawali dengan memasak makanan khas secara bersama-sama. Nasi putih diletakkan dalam satu wadah besar yang disebut Gibungan, sedangkan lauk dan sayuran yang disajikan disebut Karangan.
Setelah makanan siap, semua peserta duduk melingkar dan menikmati hidangan tanpa membeda-bedakan status sosial. Megibung sering dilakukan dalam berbagai acara keagamaan dan adat seperti pernikahan, upacara odalan di pura, upacara tiga bulanan, dan hajatan lainnya.
Selain aspek kebersamaan, prosesi Megibung juga memiliki nilai filosofi mendalam. Dalam tradisi ini, setiap peserta hanya boleh mengambil makanan yang ada di depannya tanpa meraih makanan di bagian lain dari wadah.
Ini melambangkan penghormatan terhadap sesama serta nilai keseimbangan dalam hidup. Selain itu, porsi makanan yang disajikan juga harus cukup untuk semua peserta agar tidak ada yang merasa kekurangan.
Etika dalam Megibung
Melansir Bali Timbungan, Terdapat beberapa aturan yang harus dipatuhi saat melakukan Megibung. Peserta diwajibkan mencuci tangan sebelum makan, tidak menjatuhkan remah atau sisa makanan ke wadah bersama, serta tidak mengambil makanan yang ada di sebelahnya.
Selain itu, peserta yang sudah kenyang tidak diperbolehkan meninggalkan kelompok sebelum semua orang selesai makan. Walaupun aturan ini tidak tertulis, masyarakat tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dalam Megibung.
Etika lainnya dalam Megibung adalah peserta tidak boleh berbicara kasar atau membicarakan hal yang tidak pantas selama makan. Setiap orang yang ikut serta diharapkan menghormati suasana dan menjaga sopan santun agar tradisi ini tetap terjaga dengan baik.
Megibung di Bulan Ramadan
Di beberapa komunitas Muslim di Bali, seperti Kampung Islam Kepaon, tradisi Megibung juga dilakukan selama bulan Ramadan. Masyarakat Kampung Islam Kepaon mengadakan Megibung sebagai bentuk syukur dan kebersamaan dalam menjalankan ibadah puasa.
Acara ini biasanya diadakan di masjid atau tempat berkumpul lainnya setelah berbuka puasa, menciptakan suasana kebersamaan yang erat.
Dalam pelaksanaannya di bulan Ramadan, Megibung menjadi momen spesial bagi masyarakat Muslim di Bali. Selain untuk mempererat silaturahmi, tradisi ini juga menjadi bentuk rasa syukur setelah menjalani ibadah puasa seharian penuh. Menu yang disajikan pun sering kali disesuaikan dengan hidangan berbuka khas, seperti nasi, lauk pauk, serta aneka takjil dan minuman manis.
Megibung di Era Modern
Saat ini, tradisi Megibung tidak hanya dilakukan dalam upacara adat dan keagamaan, tetapi juga menjadi daya tarik wisata kuliner di Bali. Beberapa restoran, seperti Bali Timbungan, telah mengadopsi konsep Megibung dalam menu mereka untuk memberikan pengalaman makan khas Bali bagi wisatawan.
Hidangan yang disajikan dalam konsep Megibung biasanya terdiri dari berbagai menu khas Bali, seperti Bebek Timbungan, Sate Lilit, Udang Goreng, dan berbagai sambal khas Bali.
Selain itu, konsep Megibung juga banyak diterapkan dalam berbagai festival budaya di Bali. Beberapa daerah menggelar acara khusus Megibung yang melibatkan ratusan hingga ribuan peserta, menciptakan suasana kebersamaan yang luar biasa. Acara ini sering kali menarik perhatian wisatawan lokal maupun mancanegara yang ingin merasakan langsung tradisi khas Bali ini.
Bahkan, di era digital saat ini, banyak orang yang membagikan pengalaman Megibung mereka melalui media sosial, membantu meningkatkan kesadaran dan popularitas tradisi ini di kalangan generasi muda.
Dengan tetap lestarinya tradisi Megibung hingga saat ini, masyarakat Bali membuktikan bahwa kebersamaan dan nilai budaya tetap dijaga, bahkan dalam era modern. Tradisi ini tidak hanya menjadi warisan budaya tetapi juga bagian dari identitas sosial yang terus diwariskan ke generasi berikutnya.