Modus Operandi Pelaku Jual Solar Subsidi ke Nonsubsidi di Kolaka

Konferensi pers pengungkapan penjualan solar bersubsidi di Kolaka. Foto: Metrotvnews.com/Siti Yona Hukmana.

Modus Operandi Pelaku Jual Solar Subsidi ke Nonsubsidi di Kolaka

Siti Yona Hukmana • 3 March 2025 21:02

Jakarta: Polri membeberkan modus operandi pelaku dalam melancarkan aksi penyelewengan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar subsidi akibat tata kelola distribusi BBM yang longgar di wilayah Kolaka, Sulawesi Tenggara. Para pelaku menjual BBM solar bersubsidi ke dengan nonsubsidi. 

Direktur Tindak Pidana Tertentu (Dirtipidter) Bareskrim Polri Brigjen Nunung Syaifuddin mengatakan pelaku menyalahgunakan BBM solar bersubsidi atau B35 dari fuel terminal BBM Kolaka di bawah kendali PT Pertamina Patra Niaga Operasian Region 7 Makassar. Di mana seharusnya dikirim ke stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU), stasiun pengisian bahan bakar nelayan (SPBN), dan agen penyaluran minyak dan solar (APMS) disalahdigunakan.

"Dengan cara dibelokkan ke gudang penimbunan tanpa perizinan dan selanjutnya isi muatan biosolar tersebut dipindahkan langsung ke mobil tengki solar industri," kata Nunung dalam konferensi pers di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin, 3 Maret 2025.

Mulanya biosolar itu berada di dalam truk tangki merah milik Pertamina. Kemudian, dipindahkan ke truk tangki biru milik swasta. Lalu, biosolar dalam truk tangki biru yang subsidi itu dijual seharga nonsubsidi kepada para penambang yang melakukan pergiatan penambangan.

"Dan juga dijual kepada kapal tug boat (penarik tongkang) dengan harga solar industri tentunya," ujar Nunung.
 

Baca juga: 

Penjualan BBM Solar Subsidi Jadi Nonsubsidi di Kolaka Rugikan Negara Rp105 Miliar


Nunung membeberkan rangkaian perbuatan para pelaku. Pemilik SPBU atau SPBU-N menggunakan ID khusus yang terkoneksi dengan MyPertamina melakukan transfer guna penebusan BBM bersubsidi ke PT Pertamina Patra Niaga. Selanjutnya, terkoneksi ke sistem pengangkutan BBM yang dikelola oleh PT Elnusa Petrofin (EP).

Akhirnya, PT EP mendapat kontrak kerja transportir BBM dari PT Pertamina Patra Niaga. Kemudian, pada penyaluran BBM ke SPBU-N yang telah melakukan penebusan, truk tangki warna merah (pengangkut BBM subsidi), PT EP wajib menggunakan sistem Global Positioning System (GPS), sehingga dapat dipantau keberadaannya secara real time oleh monitoring center PT EP.

Namun, terjadi pengelabuan sistem GPS yang seolah-olah truk pengangkut BBM subsidi milik PT EP mengangkut ke SPBN tujuanh pengiriman. Padahal, truk tangki PT EP yang mengangkut BBM subsidi tersebut
kembali ke arah Kolaka dan ketika mendekati gudang ilegal penimbunan, GPS dimatikan.

"Modus mematikan GPS dalam jangka waktu 2 jam dan 27 menit tersebut diduga terjadi pemindahan isi muatan BBM subsidi dari tangki merah (BBM subsidi) ke tangki biru (BBM non subsidi) yang berlangsung di gudang ilegal penimbunan BBM saudaraa B," beber Nunung.

Selain itu, pada truk tangki warna merah yang mengangkut BBM bersubsidi di bawah pengelolaan PT EP ternyata tidak terpasang GPS. Nunung mengatakan di situ lah terjadi tindak pidana yang diduga dilakukan empat orang.

Mereka ialah oknum PT Pertamina Patra Niaga itu diduga melakukan perbantuan untuk penebusan kepada PT Pertamina untuk BBM jenis solar. Kemudian, BK sebagai pemilik gudang penimbunan; A sebagai pemilik SPBU Nelayan di Kecamatan Kuleng, Tenggara, Kabupaten Bumbana; dan T selaku penyedia truk tangki.

Para terduga pelaku bisa dipersangkakan Pasal 40 angka 9 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atas perubahan ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Pasal itu mengatur setiap orang yang menyalahgunakan pengangkutan dan atau Niaga Bahan Bakar Minyak, bahan bakar gas, dan atau liquefied petroleum gas yang disubsidi dan atau penyediaan dan pendistribusiannya diberikan penugasan Pemerintah.

"Dengan ancaman pidana dengan penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp60 miliar," ungkap Nunung.

Adapun gudang penampungan BBM subsidi ilegal itu beralamat di Lorong Teppoe, Kelurahan Balandete, Kecamatan Kolaka, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Di lokasi itu, polisi menyita satu unit truk tangki biru ukuran 10.000 liter dengan tulisan PT RPM bernopol DT 9161 UB dengan muatan solar subsidi volume kurang lebih 8.000 liter. 

Kemudian, satu unit truk tangki biru ukuran 5.000 liter dengan tulisan PT RPM Nopol DT 8834 BB dengan muatan kosong. Selanjutnya, satu unit truk tangki biru ukuran 5.000 liter dengan tulisan PT RPM Nopol DT 8320 BB dengan muatan solar subsidi volume kurang lebih 5.000 liter.

Lalu, tiga tandon atau kempu berisi minyak solar subsidi dengan total kurang lebih 3.000 liter. Kemudian, tujuh tandon atau kempu kosong, lima drum berisi solar dengan total kurang lebih 600 liter, satu mesin pompa atau alkon, satu selang panjang berwarna biru, satu selang panjang berwarna kuning kecoklatan, satu corong kepala babi, dan 10 segel berlogo pertamina dengan tulisan FPQ&Q.

Akibat tindak pidana itu, negara mengalami kerugian mencapai Rp105 miliar. Penghitungan kerugian, disparitas atau selisih harga antara subsidi dan nonsubsidi ini cukup tinggi untuk di daerah Kolaka. Sebab harga BBM solar subsidi hanya Rp6.800 dan yang nonsubsidi mencapai Rp19.300, sehingga selisih per liternya Rp12.550. 

"Dengan asumsi sesuai dengan data buku yang kita dapat di gudang bahwa dalam sebulan mereka bisa mendapatkan 350.000 liter, maka sebulan kita kalikan Rp12.550 dengan 350.000 liter, maka keuntungannya ada Rp4.392.500.000 (per bulan)," ujar Nunung.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Anggi Tondi)