Kehadiran UU Masyarakat Hukum Adat Harus Menjadi Kepedulian Semua Pihak

Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat (Rerie). Medcom.id/Fachri Audhia Hafiez

Kehadiran UU Masyarakat Hukum Adat Harus Menjadi Kepedulian Semua Pihak

Achmad Zulfikar Fazli • 6 August 2025 22:41

Jakarta: Upaya menghadirkan Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat (UU MHA) di Tanah Air harus menjadi kepedulian semua pihak demi mewujudkan pemenuhan hak perlindungan menyeluruh bagi  masyarakat adat. Hal ini disampaikan Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat dalam rangka menyambut Hari Masyarakat Adat Internasional yang diperingati setiap 9 Agustus.
 
"Peringatan Hari Kemerdekaan di bulan Agustus ini sejatinya merupakan momentum pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak seluruh rakyat, termasuk masyarakat adat, menjadi paradoks dengan masih terhambatnya pembahasan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) hingga saat ini," kata Lestari dalam sambutan tertulisnya pada diskusi daring bertema Meneguhkan Hak, Merawat Kearifan, Memperkuat Peran Masyarakat Adat di Indonesia, yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 di Jakarta, Rabu, 6 Agustus 2025.
 
Menurut Lestari, Hari Masyarakat Adat Internasional yang dideklarasikan PBB pada 1994, bertujuan melindungi hak-hak masyarakat adat di seluruh dunia.
 
Rerie, sapaan akrab Lestari, berpendapat di Indonesia, peringatan ini seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat komitmen terhadap keberagaman, eksistensi, dan keadilan bagi masyarakat adat, yang telah berperan besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pelestarian budaya. Namun, di usia ke-80 kemerdekaan RI, RUU MHA yang diharapkan menjadi payung hukum perlindungan masyarakat adat justru belum disahkan.
 
Tanpa pengakuan hukum, tegas Rerie, masyarakat adat rentan terhadap perampasan hak dan marginalisasi. Padahal, mereka yang menjaga kearifan lokal Indonesia.
 
Menurut Rerie, meneguhkan hak, merawat kearifan lokal, dan memperkuat peran masyarakat adat di Indonesia mesti dimulai dari pengakuan akan keberadaan seluruh masyarakat adat di Indonesia sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
 
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu mendorong agar RUU MHA segera disahkan, mengingat masyarakat adat adalah bagian tak terpisahkan dari identitas bangsa.
 

Baca Juga: 

Willy Aditya Tegaskan RUU MHA Menjamin Ruang Hidup Masyarakat Adat


Sementara itu, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan Hak Asasi Manusia Aliansi Masyarakat Adat Nusantara/AMAN, Muhammad Arman, mengungkapkan bila dilihat dari sisi kebudayaan terkait bahasa, ada 11 bahasa daerah yang punah akibat masyarakat adat semakin terpinggirkan. Catatan UNESCO, di Papua saat ini setiap dua minggu ada satu bahasa ibu yang hilang.
 
Selain itu, tambah Arman, masyarakat adat beberapa daerah harus berhadapan dengan eskalasi pembangunan lahan yang sangat luas untuk sumber pangan nasional. Menurut Arman, dalam konteks pembangunan di Indonesia, masyarakat adat belum dipandang sebagai bagian dari fondasi keberagaman pada bangsa ini.
 
Padahal, tegas dia, bangunan Indonesia pada awalnya didasari atas keberagaman yang di dalamnya termasuk masyarakat adat. Menurut Arman, rentannya kondisi masyarakat adat saat ini terjadi karena dasar hukum yang dibangun terkait masyarakat adat sangat diskriminatif.
 
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, berpendapat, terkait masyarakat adat sejatinya memiliki landasan filosofis. Karena, tambah dia, pemerintahan Indonesia dibentuk ditujukan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, termasuk masyarakat adat.
 
Secara yuridis, ungkap Yance, konstitusi UUD 1945 juga mengakui masyarakat adat pada sejumlah pasalnya. Saat ini, tambah dia, tumpang tindih sejumlah pengaturan terkait masyarakat adat itu mendorong sejumlah pihak untuk menghadirkan pengaturan yang lebih menyeluruh dalam satu undang-undang.
 
Yance menilai pembahasan RUU MHA yang merupakan usulan DPR itu saat ini cenderung ke arah politis dengan mempermasalahkan sejumlah terminologi, ketimbang mengedepankan aspek perlindungan masyarakat adat.
 
Menurut Yance, sejumlah upaya alternatif untuk menghadirkan undang-undang yang memberi perlindungan menyeluruh bagi masyarakat adat bisa dicoba, dengan mengedepankan imajinasi dan kreativitas dari para pemangku kepentingan.
 
Baca Juga: 

MUI Dorong RUU Masyarakat Adat Segera Disahkan Menjadi Undang-Undang


Pendiri dan Dewan Pembina LBH APIK, Nur Amalia, berpendapat kondisi yang dialami masyarakat adat saat ini menegaskan negeri ini memerlukan kehadiran UU MHA. Selain itu, ujar Nur Amalia, penanganan masyarakat adat membutuhkan kelembagaan khusus sebagai bentuk afirmatif action.
 
Kehadiran lembaga khusus ini, jelas Nur Amalia, merupakan aspek krusial yang harus ada untuk mengatasi beda perlakuan yang terjadi antara masyarakat adat dan masyarakat umum dalam mengakses hak-hak mereka.
 
Nur Amalia juga mengusulkan perlu ada bab khusus dalam pengaturan kelembagaan itu terkait perlindungan serta pemenuhan hak perempuan dan anak adat yang dalam keseharian menghadapi multiple diskriminasi.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Achmad Zulfikar Fazli)