Amerika Serikat. Foto: Unsplash.
New York: Popularitas pekerjaan jarak jauh (remote) di Amerika Serikat (AS) telah mengosongkan gedung perkantoran. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi pemilik properti yang berisiko mengalami kerugian.
"Akan ada kegagalan bank, tapi ini bukan bank-bank besar," kata Ketua Federal Reserve AS Jerome Powell, dilansir Business Times, Senin, 11 Maret 2024.
Di San Francisco, Washington, dan bahkan New York, jumlah orang yang bekerja di kantor hanya separuh dibandingkan sebelum pandemi, dan para pekerja kantoran enggan untuk kembali bekerja di kantor.
Perusahaan kredit Fitch Ratings menjelaskan tingkat kekosongan kantor di seluruh negeri telah meningkat menjadi 13,5 persen pada 2023 dari 9,5 persen pada 2019, dan dapat mencapai 16,6 persen pada akhir tahun depan.
"Di banyak kota, kawasan perkantoran di pusat kota sangat sedikit penduduknya," kata Powell.
Pergeseran pola kerja telah menyebabkan sektor real estate komersial kehilangan sepertiga nilainya, dan hal ini dapat menimbulkan dampak yang lebih luas.
Pendanaan properti perkantoran
Menurut Mortgage Bankers Association, dari USD737 miliar hipotek properti perkantoran, USD206 miliar, sekitar seperempat, akan jatuh tempo tahun ini. Namun hal ini terjadi ketika suku bunga berada pada titik tertinggi dalam lebih dari 20 tahun.
Artinya, ketika pinjaman sudah jatuh tempo, pinjaman tersebut perlu dibiayai kembali karena tingkat kekosongan di beberapa kota tinggi dan penilaiannya lebih rendah. Di Amerika Serikat, pinjaman komersial harus dinegosiasi ulang setiap tiga hingga lima tahun.
"Risiko ini adalah reaksi berantai di mana bank berisiko melihat peminjam mereka mengalami gagal bayar (default) dan sebagai akibatnya, mengalami tekanan pada modal mereka”, kata kepala ekonom EY Gregory Daco.
Powell mencatat bahwa The Fed bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan yang menghadapi risiko, dengan mengatakan telah mengidentifikasi bank-bank yang memiliki konsentrasi real estat komersial yang tinggi, khususnya perkantoran dan ritel.
"Kami sedang berdialog dengan mereka," tambah dia.
Kepala Ekonom AS di Oxford Economics, Ryan Sweet mengatakan aset properti dijual dengan harga lebih rendah dari perkiraan lembaga keuangan, hal ini dapat memicu efek domino, menyebabkan bank menilai kembali potensi kerugian yang mereka alami saat menjabat dan kerugian kredit yang diperlukan.