Yogyakarta: Ratusan Sivitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Kamis petang, 22 Agustus menggelar aksi dan menyampaikan pernyataan sikap terkait
dengan perkembangan politik terkini. Wakil Dekan Fakultas Hukum Heribertus Jaka Triyana, dalam orasi dan penyampaian pernyataan sikap di halaman Utara kampus Fakultas Hukum UGM mengemukakan keberadaan Mahakamah Konstitusi dimaksudkan untuk menjaga denyut nadi demokrasi dan konstitusi agar cita-cita dasar pembentukan pemerintahan untuk mewujudkan keadilan sosial dann kesejateraan dapat tercapai.
Menurut dia, adanya putusan Mahkamah Konstitusi nomor 60/PUU-XXII/2024 dan putusan nomor 70/PUU-XXII 2024 tanggal 20 Agustus telah memberikan harapan baru untuk menyelamatkan demokrasi dari permainan oligarki yang hendak memanipulasi pemilihan kepala daerah dengan mengusung calonnya berhadapan dengan kotak kosong atau calon boneka.
"Proses manipulasi demokrasi seperti ini harus dilawan oleh seluruh komponen rakyat Indonesia karena itu mencederai kedaulatan rakyat," katanya di Yogyakarta, Kamis, 22 Agustus 2024.
Langkah DPR dan Presiden dengan merevisi UU yang menganulir putusan Mahkamah Konstitusi, ujarnya, merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi. Heribertus menambahkan, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan penjelmaan dari prinsip-prinsip demokrasi dan negara hukum yang terdapat dalam UUD 1945 yang sudah seharusnya dipatuhi.
Revisi UU Pilkada yang dilakukan secara tertutup dan tidak melibatkan komponen masyarakat, tergesa-gesa, mengabaikan aspirasi publik, katanya adalah corak legislasi otoritarian atau
autocratic legalism yang dibuat bukan untuk tujuan-tujuan pelembagaan demokrasi melainkan untuk kepentingan anti-demokratis, untk kepentingan dinasti politik dan golongan elite politik tertentu.
"Kami mencermati bahwa berbagai rancangan undang undang yang sedang dipersiapkan oleh DPR pada masa transisi pemerintahan ini menyimpan sejumlah bahaya bagi kelangsungan demokrasi negara hukum Indonesia," katanya.
Ia kemudian menyebutkan, RUU yang dimaksud adalah RUU TNI, RUU Polri yang akan mengembalikan Dwi Fungsi ABRI yang pernah dipraktikkan pada masa Orde Baru, RUU Penyiaran yang membatasi kontrol media, RUU Mahkamah Konstitusi yang akan mengocok ulang komposisi hakim konstitusi agar bisa dikontrol pemerintah, RUU Dewa Pertimbangan Agung yang berarti akan menghidupkan lembaga yang sudah dihapuskan oleh konstitusi dan lain sebagainya.
Heribertus juga mengingatkan praktik-praktik
autocratic legalism ini harus segera dihentikan. Sementara dalam pernyataan sikapnya, Sivitas Akademika Fakultas Hukum
UGM menyerukan Presiden dan DPR menghentikan proses revisi UU Pilkada dan mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi. KPU juga diminta kuat dan tegas menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 20 Agustus tersebut.
"Kami juga mendesak Presiden dan DPR menghentikan pembahasan RUU TNI, RUU Polri, RUU Penyiaran, RUU Dewan Pertimbangan Agung dan RUU Mahkamah Konstitusi yang nyata-nyata menggerogoti demokrasi dan negara hukum," tegasnya.
Namun jika DPR dan Presiden mengabaikan dan terus melanjutkan pembahasan, Sivitas Akademika FH UGM mengajak insan akademik dan segenap komponen masyarakat sipil menggalang kekuatan untuk melakukan perlawanan terhadap tirani dan autokrasi rezim Joko Widodo dan partai politik pendukungnya.