2025 Jadi Tahun yang Penuh Ketidakpastian Ekonomi dan Kenaikan Harga

Ilustrasi. Foto: Freepik.

2025 Jadi Tahun yang Penuh Ketidakpastian Ekonomi dan Kenaikan Harga

Naufal Zuhdi • 29 December 2024 11:26

Jakarta: Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat memperkirakan tahun depan menjadi salah satu tahun yang penuh tantangan bagi perekonomian global. Ketidakpastian yang disebabkan oleh konflik geopolitik, perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, dan dampak perubahan iklim semakin memperumit keadaan.
 
"Di sisi domestik, Indonesia juga menghadapi tekanan dari sejumlah kebijakan ekonomi yang diberlakukan pada 2024, yang secara signifikan memengaruhi daya beli masyarakat kelas menengah. Dalam situasi ini, penting bagi kelas menengah Indonesia untuk mengambil langkah strategis guna bertahan dan tetap relevan di tengah ketidakpastian tersebut," kata Achmad dikutip melalui keterangan yang diterima, Minggu, 29 Desember 2024.
 
Achmad mengungkapkan, ketidakpastian ekonomi global menjadi isu utama yang tidak hanya dirasakan oleh negara-negara besar tetapi juga negara berkembang seperti Indonesia. Konflik geopolitik yang terus berlanjut seperti perang dagang antara negara-negara besar, semakin menekan stabilitas ekonomi.
 
"Fluktuasi harga komoditas global, terutama energi dan pangan, menjadi ancaman serius bagi negara yang bergantung pada impor seperti Indonesia. Perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara-negara mitra dagang utama, seperti Tiongkok dan Amerika Serikat, memperburuk kondisi dengan menurunkan potensi ekspor dan investasi," ungkapnya.
 
Di sisi lain, Achmad pun menyoroti kebijakan yang diterapkan pemerintah pada 2024 membawa dampak langsung pada kelas menengah di tahun berikutnya. Salah satu kebijakan yang menonjol adalah kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Ia menegaskan, meskipun bertujuan meningkatkan penerimaan negara, kebijakan ini justru menimbulkan efek domino berupa kenaikan harga barang dan jasa di pasar.
 
"Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat miskin, tetapi juga kelas menengah yang menjadi tulang punggung konsumsi domestik. Ketika harga kebutuhan pokok melonjak, kemampuan belanja mereka tergerus, sehingga mengancam pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan," beber dia.
 
Pengetatan subsidi energi, tambahnya, juga menjadi beban tambahan bagi kelas menengah. Pemerintah mengubah mekanisme subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik menjadi berbasis nomor induk kependudukan (NIK).
 
"Meskipun kebijakan ini dirancang untuk memastikan subsidi lebih tepat sasaran, banyak masyarakat kelas menengah yang sebelumnya menikmati subsidi kini harus menghadapi kenaikan biaya energi. Kondisi ini memaksa mereka untuk mengalokasikan sebagian besar penghasilan mereka untuk kebutuhan dasar, sehingga mengurangi kapasitas investasi dan tabungan," tutur Achmad.
 

Baca juga: Pemerintah Perlu Perkuat Pariwisata Jadi Motor Penggerak Ekonomi
 

Program Tapera jadi sumber tekanan baru

 
Selain itu, ia juga menilai program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang mulai diimplementasikan pada 2024 juga menjadi sumber tekanan baru. Pasalnya, program ini mewajibkan pekerja dan pemberi kerja menyisihkan sebagian pendapatan untuk dana perumahan.
 
Dengan demikian, ketidakpastian ekonomi global yang berbarengan dengan kebijakan domestik yang berat memaksa kelas menengah untuk lebih bijak dalam mengelola keuangan mereka.
 
"Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengatur ulang prioritas pengeluaran. Dalam situasi ini, kebutuhan primer harus menjadi fokus utama, sementara pengeluaran untuk barang konsumsi yang tidak mendesak perlu dikurangi," jelas dia.
 
Kelas menengah, lanjutnya, perlu mencari peluang usaha sampingan atau investasi pada aset-aset yang memiliki risiko rendah tetapi memberikan pengembalian yang stabil.
 
"Investasi dalam reksa dana pendapatan tetap atau obligasi pemerintah dapat menjadi pilihan yang aman di tengah ketidakpastian ekonomi. Manfaatkan juga peluang di sektor ekonomi digital, seperti menjadi freelancer atau menjual produk secara online, untuk menambah penghasilan," ucap dia.
 
Di samping itu, dengan pemahaman yang lebih baik tentang pengelolaan keuangan, investasi, dan perlindungan aset, kelas menengah dapat menghindari jebakan utang konsumtif yang hanya akan memperburuk kondisi keuangan mereka di masa depan.


(Ilustrasi. Foto: MI)
 

Dampak kebijakan ke kelas menengah

 
Achmad menyatakan, pemerintah perlu memperhatikan dampak kebijakan ekonomi mereka terhadap kelas menengah. Sebab, penyesuaian kebijakan yang lebih berpihak pada kelompok ini sangat penting untuk menjaga stabilitas sosial dan ekonomi.
 
"Misalnya, mempertimbangkan mekanisme subsidi energi yang lebih inklusif atau memberikan insentif pajak bagi kelas menengah yang terdampak kenaikan PPN. Selain itu, upaya stabilisasi harga barang kebutuhan pokok harus menjadi prioritas untuk meringankan beban masyarakat," cetusnya.
 
Kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta menjadi kunci untuk menghadapi tantangan ini. Sektor swasta juga dapat berkontribusi dengan menyediakan program pelatihan keterampilan atau peluang kerja yang relevan dengan kebutuhan pasar.
 
Sementara itu, masyarakat perlu berperan aktif dalam mendukung kebijakan yang mendukung stabilitas ekonomi, seperti mendukung produk lokal untuk mengurangi ketergantungan pada impor.
 
Meskipun tantangan ekonomi pada 2025 diperkirakan berat, ada peluang bagi kelas menengah untuk bertahan dan bahkan berkembang dengan strategi yang tepat.
 
"Dengan langkah-langkah yang tepat, kelas menengah Indonesia dapat tetap menjadi pilar penting dalam menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi nasional, bahkan di tengah badai ketidakpastian global," pungkasnya.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Husen Miftahudin)