Dewan Redaksi Media Group Ahmad Punto. Foto: MI/Ebet.
Media Indonesia • 21 March 2024 06:00
JANGAN Ada Bansos di Antara Pilkada. Begitu barangkali jadinya bila lagu yang dipopulerkan duet Broery Marantika dan Dewi Yull, hampir tiga dekade silam, Jangan Ada Dusta di Antara Kita, dipelesetkan untuk menyindir praktik penyaluran bantuan sosial (bansos) yang amat mungkin dibelokkan demi kepentingan politik elektoral pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024, November mendatang.
Sindiran itu bukan tanpa alasan. Gara-gara politik, bansos ternodai. Contoh paling terang benderang terjadi pada Pemilu 2024. Nilai bansos yang digerojokkan menjelang pencoblosan boleh jadi merupakan yang terbesar sepanjang Republik ini berdiri. Bayangkan, total anggaran negara untuk bantuan-bantuan itu nyaris menembus setengah kuadriliun rupiah. Sayangnya, di balik pengucuran dana bansos sebesar itu, ada kepentingan nonsosial yang dikedepankan.
Bansos yang sejatinya merupakan instrumen altruisme (prinsip pengutamaan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi) teralihkan menjadi sekadar sarana untuk mendongkrak suara atau kepentingan kelompok tertentu. Bansos yang seharusnya diniatkan untuk membantu mengungkit daya beli masyarakat miskin, atau bahkan mengentaskan mereka dari kemiskinan justru dipakai untuk tujuan politik.
Betul saja, bansos pada akhirnya dianggap sukses mengubrak-abrik prediksi elektoral, terutama dalam konteks pemilihan presiden dan wakil presiden. Jika menilik hasil akhir rekapitulasi KPU, kemarin, kelompok yang ditengarai didukung penguasa yang memiliki kuasa atas anggaran bansos, berhasil memenangi pemilu dengan skor cukup telak. Pendek kata, buat penunggang mereka, politisasi bansos kali ini sukses besar.
Di sisi lain, bansos juga dinilai punya andil membuat Pemilu 2024, seperti yang juga disuarakan berulang-ulang oleh para pakar, guru besar, mahasiswa, dan masyarakat sipil sebagai pemilu terburuk sepanjang sejarah demokrasi di Indonesia. Kecurangan yang sangat masif dilakukan dari sebelum hingga pascapencoblosan, salah satunya disumbang pengucuran bansos yang beraroma politik.
Kira-kira delapan bulan dari sekarang, bangsa ini akan menyelenggarakan pilkada secara serentak. Banyak pihak cemas 'kesuksesan' kapitalisasi bansos pada Pemilu 2024 amat mungkin bakal ditiru di ajang pilkada tersebut. Kemenangan sebagai efek penggiringan bansos kiranya bisa menginspirasi calon-calon gubernur, bupati, atau wali kota untuk melakukan hal yang sama.
Jika tidak ada aturan main yang jelas, boleh jadi iming-iming bansos menjelang pelaksanaan pilkada memang bakal marak dilakukan demi menyedot suara pemilih. Pun bila para wasit pilkada, KPU, dan Bawaslu masih selemah dan seproblematik sekarang, para pemain dan penunggang bansos politik akan lebih leluasa melancarkan operasi mereka.
Baca juga:
KPK Pastikan Analisis Bansos Pengaruhi Pemilih di Indonesia Valid |