Dewan Redaksi Media Group, Jaka Budi Santosa. Foto: Media Indonesia (MI)/Ebet.
Media Indonesia • 18 December 2025 05:36
Ada dua petinggi negeri bicara ihwal ekonomi dan ekologi hari-hari ini. Yang satu menyemai kekhawatiran, satunya lagi menumbuhkan harapan.
Kedua petinggi itu ialah Presiden Prabowo Subianto dan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi atau KDM (Kang Dedi Mulyadi) alias Bapak Aing.
Bukan berarti saya ingin menghadap-hadapkan, tapi cara pandang keduanya bolehlah kita bandingkan. Kendati beda materi, topik besarnya sama, yaitu perihal lingkungan. Soal ekologi dan ekonomi. Dua hal yang semestinya berimbang, tapi realitasnya timpang. Ekologi kerap dikalahkan, sementara ekonomi ditempatkan di podium pemenang.
Itu pula yang diyakini menjadi biang keladi tragedi di bumi Sumatra. Bencana banjir dan longsor yang merenggut lebih dari 1.000 nyawa anak bangsa. Tak ada satu pun orang yang ingin bencana itu terulang.
Lalu apa hubungannya dengan Pak Prabowo dan KDM? Kata para ahli, bencana hidrometeorologi bisa direduksi jika alam dan lingkungan dilindungi. Kata para cerdik pandai, banjir dan longsor dapat ditekan bila hutan tak dibalak secara ugal-ugalan. Intinya, jangan korbankan ekologi demi kepentingan ekonomi.
Nah, ada kesan Pak Prabowo agak lain dengan prinsip itu. Ia seolah menoleransi deforestasi. Demi apa? Sawit. Baginya, sawit ialah jawaban dari persoalan
ekonomi dan energi. Pernyataan pertama ia sampaikan hampir setahun lalu dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional di Jakarta, Senin (30/12/2024). Ia bilang, kelapa sawit ialah bahan strategis sehingga Indonesia perlu menambah penanamannya.
Prabowo pun menepis tuduhan bahwa lahan sawit menyebabkan deforestasi. ''Enggak usah takut apa itu katanya membahayakan, deforestation. Namanya kelapa sawit ya pohon, ya kan? Benar enggak, kelapa sawit itu pohon, ada daunnya kan? Ia menyerap karbon dioksida. Dari mana kok kita dituduh, yang mboten-mboten saja orang-orang itu.''
Pembalakan hutan lalu dijadikan kebun sawit secara masif diyakini sebagai salah satu penyebab bencana Sumatra. Tak perlu profesor, doktor, atau sarjana kehutanan untuk meyakini itu. Orang awam juga paham. Saya tadinya berharap Pak Prabowo meralat pernyataannya itu setelah wilayah Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat luluh lantak. Namun, ia malah kembali menyampaikan cara pandang soal hebatnya sawit.
Kala berpidato di HUT ke-61 Partai Golkar di Jakarta, Jumat (5/12), ketika kerusakan akibat banjir bandang di Sumatra makin tampak mengerikan, ia bilang sawit ialah karunia Tuhan. Ia berorasi kelapa sawit bisa jadi bisa jadi solar, jadi bensin, dan kita punya teknologinya. Ia tekankan, sawit krusial di tengah konflik global.
Presiden Prabowo Subianto. Foto: Dok. BPMI Sekretariat Presiden.
Belum cukup, lagi dan lagi Pak Prabowo menyebut sawit memang so sweet. Pada rapat percepatan pembangunan Papua di Istana Negara Jakarta, Selasa (16/12), ia berharap Papua turut ditanami sawit. Tujuannya, agar Papua dapat berswasembada energi dari sawit. Juga tebu dan singkong yang dapat menghasilkan etanol dan bahan pangan.
Asa seorang presiden beda dengan harapan rakyat. Ia dapat naik tingkat menjadi instruksi. Kalau presiden sudah perintah, siapa yang berani membantah? Karena itu, siap-siap saja sawit OTW ke Papua. Jika begitu, akankah hutan di sana juga dirambah demi sawit? Akankah bencana Sumatra terepetisi di Papua nanti? Itulah yang mengkhawatirkan.
Sawit memang pohon. Ia punya akar, tapi kemampuannya untuk menahan tanah tak sekuat pohon-pohon di hutan alami. Ia juga berdaun, tetapi kapasitasnya untuk menyerap karbon tak sebaik ketimbang vegetasi di hujan tropis. Itu kata ilmuwan nirkepentingan, bukan versi oligarki atau pembisik yang punya kemauan.
KDM punya prinsip berbeda. Buatnya, bencana Sumatra ialah pengingat nyata bahwa selama ini kita memperlakukan lingkungan semena-mena. Demi cuan sekelompok orang, tak peduli rakyat menjadi korban. Kader Partai Gerindra pimpinan Prabowo itu sejak awal menjabat Gubernur Jabar unjuk kepedulian terhadap lingkungan. Tempat wisata di Puncak, Bogor, ia bongkar lalu tanahnya ditanami pohon. Kali-kali di Bekasi dinormalisasi.
Terkini, KDM memoratorium penerbitan izin perumahan di seluruh Jabar. Kebijakan itu tadinya cuma berlaku di Bandung Raya. Lewat surat edaran gubernur tertanggal 13 Desember 2025, izin perumahan dihentikan sementara hingga tiap kabupaten/kota memiliki kajian risiko bencana dan melakukan penyesuaian rencana tata ruang wilayah. Pun, pemda diminta meninjau lagi lokasi pembangunan yang merupakan area persawahan, perkebunan, dan kawasan baik resapan air, konservasi, maupun kehutanan.
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Foto: Metrotvnews.com/Roni Kurniawan.
Bukan rahasia, selama ini tata ruang suka abai pada aturan. Sawah tetiba menjadi real estat atau pabrik. Situ-situ tempat tandon air diubah menjadi perumahan mewah. Semuanya gampang asal ada uang.
Seperti halnya sawit, perumahan juga urusan ekonomi. Namun, setidaknya sampai saat ini, KDM tak mau menegasikan ekologi. Ia sadar bahwa lingkungan sudah rusak, ia akui hutan di Jabar tinggal 20%. Itu modal besar untuk perbaikan dan pembenahan.
Ekonom senior penerima The Leader for the Living Planet Award dari World Wide Fund, Emil Salim, menegaskan pembangunan seharusnya tidak berujung pada eksploitasi, tapi pelestarian dan pemanfaatan alam secara berkelanjutan. John F Kennedy bilang pemimpin harus memiliki kemampuan untuk melindungi lingkungan dan sumber daya alam demi generasi masa depan.
Sebagai pemimpin, misi Pak Prabowo untuk swasembada energi memang baik. Patriotis. Namun, kalau kemudian mengabaikan hutan demi sawit, lebih memilih jalan ekstensifikasi ketimbang intensifikasi, ia sungguh mencemaskan. Gebrakan awal Bapak Aing terhadap lingkungan patut diapresiasi. Mudah-mudahan tidak anget-anget tahi ayam. Soal siapa yang lebih baik di antara keduanya, terserah Anda yang menilai.