Podium Media Indonesia: Logika Gorengan

Dewan Redaksi Media Group, Abdul Kohar. Foto: Media Indonesia (MI)/Ebet.

Podium Media Indonesia: Logika Gorengan

Media Indonesia, Abdul Kohar • 17 December 2025 05:24

Ada yang menggelitik, sekaligus mengusik nalar, ketika menyimak sebuah siniar yang menghadirkan Hasan Nasbi, mantan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, sebagai narasumber. Dalam perbincangan itu, Hasan mengkritik pihak-pihak yang mengaitkan banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumatra Utara, serta Sumatra Barat dengan alih fungsi hutan untuk perkebunan sawit. Menurutnya, penyebab utama bencana tersebut ialah curah hujan yang tinggi, bukan pembukaan hutan.

Bagi Hasan, menyalahkan sawit, dan perkebunan lain yang selama ini dinilai memberikan manfaat ekonomi bagi banyak orang, ialah keliru sasaran. Ia lalu mengajukan ilustrasi yang, sepintas lalu, terdengar masuk akal. Selama masyarakat masih gemar mengonsumsi gorengan dan meminum kopi, kata Hasan, masyarakat juga turut berkontribusi terhadap bencana. Gorengan berasal dari minyak sawit, kopi berasal dari perkebunan kopi. Dengan logika itu, siapa pun yang menikmati gorengan dan kopi semestinya tidak berhak menyalahkan sawit.
 


Pernyataan tersebut tampak linier. Premis dan kesimpulan seolah saling bertaut, nyaris tanpa celah. Namun, justru di situlah persoalannya. Ketika dirunut lebih teliti, argumentasi itu menyimpan lubang besar. Ia rapuh, bahkan terlalu simplifikatif. Tidak berlebihan jika sebagian kalangan menyebutnya sebagai argumentasi yang sesat dan menyesatkan.

Para pengkritik alih fungsi hutan sejatinya bukanlah kelompok yang antisawit. Sebagian besar dari mereka justru mengakui bahwa sawit, seperti juga kopi dan komoditas perkebunan lain, memiliki kontribusi penting bagi perekonomian nasional. Catatannya jelas: manfaat ekonomi tersebut harus dikelola secara profesional dan berkelanjutan. Profesional, dalam pengertian ini, mencakup kesediaan untuk menimbang daya dukung ekologi.

Masalahnya, yang terjadi belakangan justru sebaliknya. Titik keseimbangan antara manfaat ekonomi dan keberlanjutan ekologis kian memudar. Ketika keseimbangan itu mati, yang muncul bukan lagi keuntungan wajar, melainkan kerakusan. Bukan lagi orientasi produksi untuk memenuhi kebutuhan, melainkan perburuan rente dengan dalih pembangunan.

Kritik terhadap alih fungsi hutan pun tidak berdiri di ruang hampa. Ia disangga data dan perhitungan yang relatif sederhana. Luas kebun sawit Indonesia, misalnya, terus membengkak dari tahun ke tahun. Pada 2024, totalnya mencapai sekitar 16,83 juta hektare, dan diproyeksikan meningkat menjadi sekitar 17,1 juta hektare pada akhir 2025. Angka itu menempatkan Indonesia sebagai produsen CPO terbesar di dunia, dengan kebun sawit tersebar di 26 provinsi, terutama di Sumatra dan Kalimantan.

Dengan luas kebun sekitar 17 juta hektare itu, produksi CPO Indonesia mencapai sekitar 50 juta ton per tahun. Sementara itu, konsumsi minyak goreng domestik tercatat sekitar 9,8 kilogram per kapita per tahun. Dengan jumlah penduduk sekitar 287 juta jiwa, kebutuhan minyak goreng nasional hanya sekitar 2,8 juta ton per tahun, atau kira-kira seperdua puluh dari total produksi sawit nasional. Angka itu sudah termasuk untuk memenuhi kebutuhan para penggemar gorengan.

Artinya, jika hanya untuk konsumsi minyak goreng, produksi sawit Indonesia saat ini sudah jauh melampaui kebutuhan. Memang, sawit tidak hanya digunakan untuk minyak goreng. Ia juga dialokasikan untuk biodiesel, kosmetik, serta ekspor. Namun, pertanyaannya tetap relevan: apakah semua itu menuntut produksi hingga 50 juta ton CPO dengan luasan kebun mencapai 17 juta hektare?


Mantan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, ?Hasan Nasbi. Foto: Metrotvnews.com/Kautsar Widya Prabowo.

Mari kembali ke matematika sederhana. Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menunjukkan total kebutuhan sawit nasional pada 2024 sekitar 25,40 juta ton, meningkat dari 23,28 juta ton pada 2023. Dengan asumsi kenaikan sekitar 2 juta ton per tahun, kebutuhan pada 2025 diperkirakan sekitar 27 juta ton CPO.

Dengan kebutuhan sebesar itu, lahan sekitar 9 juta hektare sejatinya sudah memadai untuk memenuhi kebutuhan domestik. Bahkan jika ditambah cadangan 30% untuk ekspor, produksi sekitar 30 juta ton dengan luasan kebun 10 juta hektare pun sudah cukup. Artinya, masih ada kelebihan sekitar 7 juta hektare kebun sawit dari kondisi yang ada saat ini.

Kelebihan itu menjadi semakin problematik ketika dihadapkan pada fakta bahwa sekitar 3,5 juta hektare kebun sawit berada di kawasan yang semula berstatus hutan. Lebih mencemaskan lagi, dari luasan tersebut, hanya sekitar 237 ribu hektare yang telah mengantongi izin pelepasan kawasan hutan secara resmi. Selebihnya berada dalam wilayah abu-abu hukum, atau bahkan jelas-jelas melanggar. Di titik itulah kerakusan tersebut menampakkan wujudnya.
 
Dengan demikian, sekalipun konsumsi gorengan melonjak berlipat-lipat dan para penikmat kopi menenggak kopi setengah galon per hari, kebutuhan lahan sawit tetap tidak akan menuntut pembukaan jutaan hektare baru. Produksi yang ada saat ini, dengan lahan yang tersedia, sudah lebih dari cukup. Menggeser kritik terhadap alih fungsi hutan secara ugal-ugalan menjadi soal kebiasaan makan gorengan dan minum kopi ialah bentuk pengaburan masalah yang menggelikan.

Seperti diingatkan filsuf Arthur Schopenhauer, 'Truth is not always the victor in an argument; it is often the one with better rhetoric'. Kebenaran tidak selalu menang dalam perdebatan. Yang kerap tampil sebagai pemenang justru mereka yang piawai merangkai retorika meskipun argumennya keliru.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Fachri Audhia Hafiez)