Warga Sudan kerap harus mengungsi dari area dekat lokasi pertempuran antara militer dan RSF. (Anadolu Agency)
Willy Haryono • 6 December 2025 19:18
Khartoum: Kementerian Luar Negeri Sudan menuduh pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) melakukan serangan drone yang menewaskan 79 warga sipil, termasuk 43 anak-anak, dalam apa yang digambarkan sebagai “pembantaian” di wilayah Kordofan Barat.
Dalam pernyataannya pada Jumat, Kemenlu Sudan menyatakan serangan yang terjadi pada hari Kamis itu menargetkan sebuah taman kanak-kanak dan rumah sakit pedesaan di kota Kalogi, yang disebut sebagai “bagian dari kampanye genosida yang sedang berlangsung” oleh RSF.
Mengutip dari Yeni Safak, Sabtu, 6 Desember 2025, Kemenlu Sudan melaporkan bahwa RSF pertama kali menyerang taman kanak-kanak tersebut dengan roket yang ditembakkan dari drone. Ketika warga bergegas menolong para korban, kelompok paramiliter itu melancarkan serangan kedua di lokasi yang sama, menewaskan lebih banyak anak-anak.
Pernyataan itu juga menuduh bahwa para personel RSF kemudian mengejar para korban dan tenaga medis hingga ke rumah sakit pedesaan tempat para terluka dibawa, sehingga jumlah korban tewas meningkat menjadi 79, sementara 38 lainnya terluka. RSF belum memberikan komentar atas tuduhan tersebut.
Pemerintah Sudan mengecam serangan tersebut sebagai “tindakan teror yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap anak-anak dan mereka yang terluka,” dan menyatakan bahwa “bahkan kelompok ekstremis paling brutal sekalipun” tidak melakukan tindakan seperti itu.
Pemerintah menuding bahwa sikap diam komunitas internasional turut mendorong terjadinya kekejaman lebih lanjut, serta menyatakan bahwa para pendukung RSF, Dewan Keamanan PBB, dan aktor internasional lainnya memikul tanggung jawab atas berlanjutnya kekerasan.
Insiden itu terjadi di tengah pertempuran sengit yang telah berlangsung selama berminggu-minggu antara Angkatan Bersenjata Sudan dan RSF di tiga negara bagian Kordofan, yang menyebabkan puluhan ribu orang mengungsi. RSF menguasai sebagian besar wilayah Darfur di Sudan barat, sementara militer memegang kontrol atas ibu kota Khartoum dan sebagian besar wilayah utara, selatan, timur, serta pusat negara itu.
Konflik yang dimulai pada April 2023 tersebut telah menewaskan ribuan orang dan memaksa jutaan lainnya mengungsi, dengan kedua pihak dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia berat.
Baca juga: Sudan Tuduh RSF Bunuh Kepala Media Pemerintah Beserta Saudaranya