Paus Fransiskus mencium bendera Ukraina, 2022. (CNS Photo/Vatican Media)
Riza Aslam Khaeron • 23 April 2025 14:27
Jakarta: Wafatnya Paus Fransiskus pada 21 April 2025 meninggalkan warisan yang rumit bagi rakyat Ukraina. Meski selama hidupnya ia dikenal sebagai tokoh yang konsisten menyerukan perdamaian, sikap Vatikan di bawah kepemimpinannya terhadap perang Rusia-Ukraina justru memunculkan kontroversi.
Melansir Kyiv Independent pada 23 April 2025, banyak warga Ukraina yang merasa seruan Paus untuk "berdamai" lebih sering tidak berpihak pada hak untuk melindungi kedaulatan mereka, bahkan terkadang dinilai Pro-Rusia. Berikut penjelasannya.
Sikap yang Terlalu Netral, Cenderung Pro-Rusia
Selama tiga tahun sejak invasi besar-besaran Rusia ke Ukraina, Paus Fransiskus secara konsisten menyerukan perdamaian. Namun, seruan-seruan ini kerap menghindari penyebutan Rusia sebagai agresor.
"Saya menyerukan agar rakyat Ukraina tidak dibiarkan membeku hingga mati; hentikan serangan udara terhadap warga sipil, yang selalu menjadi yang paling terdampak. Hentikan pembunuhan orang-orang tak bersalah!" ujar Paus Fransiskus dua hari setelah pertemuan dengan Presiden Volodymyr Zelensky, dikutip dari Kyiv Independent, Senin 14 Oktober 2024.
Meskipun pernyataan tersebut menyuarakan empati, banyak warga Ukraina menilai pendekatan Paus terlalu netral. Apalagi ketika ia mengimbau Ukraina untuk "berani mengibarkan bendera putih" sebagai tanda kesiapan negosiasi.
"Sebelum invasi skala penuh, tingkat kepercayaan warga Ukraina terhadap Paus lebih tinggi daripada pemimpin agama lainnya. Namun kepercayaan itu kini turun drastis," ujar Anatolii Babynskyi, sejarawan Gereja dari Universitas Katolik Lviv,, dikutip Kyiv Independent, Senin 21 April 2025.
Paus juga sempat menyampaikan pernyataan kontroversial dalam konferensi video dengan pemuda Katolik Rusia pada Agustus 2023.
"Jangan lupakan warisan kalian. Kalian adalah pewaris Rusia yang agung: Rusia para santo, penguasa, Rusia yang luas milik Peter I, Catherine II – kekaisaran yang agung, tercerahkan, kaya akan budaya dan kemanusiaan," ujarnya, kutipan ini dikritik luas karena dianggap mengabaikan sejarah kelam Rusia terhadap umat Katolik dan minoritas Ukraina.
Kecenderungan yang dinilai pro-Rusia ini juga tampak dalam penilaian Paus terhadap aktor kekejaman di Ukraina. Dalam wawancara tahun 2022, ia menyatakan bahwa pelaku kekejaman di Ukraina lebih banyak berasal dari kelompok non-etnis Rusia seperti Chechnya atau Buryat.
“Umumnya, yang paling kejam mungkin adalah mereka yang dari Rusia, tapi bukan dari tradisi Rusia,” ujar Paus, dikutip Kyiv Independent, Jumat 20 Desember 2022. Klaim ini kemudian dibantah oleh hasil investigasi resmi Ukraina, yang menunjukkan keterlibatan langsung prajurit Rusia dalam kekejaman seperti pembantaian di Bucha.
Bahkan, pada musim semi tahun 2022, Paus menyatakan bahwa ekspansi NATO mungkin telah “memprovokasi” Rusia untuk menyerang — sebuah narasi yang berulang kali digunakan Kremlin untuk “menjustifikasi” perang, sebagaimana dikutip Kyiv Independent, Rabu 23 April 2025.
Pernyataan ini memperkuat kesan bahwa skeptisisme Paus terhadap hegemoni AS menjelma menjadi simpati terhadap dalih geopolitik Rusia.
Hubungan Kompleks Vatikan dan Rusia
Ketidaksediaan Paus untuk menyebut Putin sebagai agresor atau mengutuk langsung invasi Rusia mencerminkan strategi diplomatik lama Vatikan. Sejak Traktat Lateran tahun 1929, Vatikan berkomitmen pada netralitas dalam peperangan dan hanya akan menjadi mediator jika diminta kedua belah pihak.
"Itu bukan cara Vatikan. Ketika Anda menghina seseorang, Anda menutup pintu hubungan," ujar Austen Ivereigh, jurnalis dan penulis biografi Paus Fransiskus, kepada Kyiv Independent, Sabtu 20 April 2025.
Namun, sebagian pengamat melihat netralitas ini sebagai bentuk bias historis.
"Segmen tertentu dalam lingkaran Vatikan adalah 'Russophile', terpesona oleh citra romantis Gereja Rusia atau tokoh-tokoh budaya Rusia yang terbentuk di Barat selama berabad-abad," jelas Babynskyi.
Bahkan dalam wawancara tahun 2022, Paus menyebut pelaku kekejaman di Ukraina lebih banyak berasal dari kelompok non-etnis Rusia seperti Chechnya atau Buryat, sebuah klaim yang kemudian dibantah oleh penyelidikan Ukraina.
Doa dan Kritik: Warisan yang Terbagi
Meski banyak yang mengkritik sikap diplomatik Paus, tidak sedikit pula yang mengenang kontribusinya dalam aspek kemanusiaan. Vatikan, melalui pendekatan netralnya, terlibat dalam pemulangan tawanan perang Ukraina dan pengiriman bantuan kemanusiaan. Presiden Zelensky sendiri mengungkapkan rasa dukanya.
"Ia tahu bagaimana memberi harapan, meringankan penderitaan lewat doa, dan membangun persatuan," tulisnya dalam pernyataan resmi, dikutip dari Kyiv Independent, Senin 21 April 2025.
Namun bagi sebagian besar rakyat Ukraina, doa saja tidak cukup. Keadilan dan ketegasan moral terhadap agresor menjadi tuntutan yang tak bisa dinegosiasikan.
"Umat Ukraina menginginkan perdamaian lebih dari siapa pun," ujar Babynskyi, "tetapi mereka juga menuntut keadilan agar tragedi semacam ini tak terulang lagi."
Warisan Paus Fransiskus di Ukraina, dengan demikian, adalah sebuah cermin: ia merefleksikan niat tulus seorang pemimpin spiritual, tetapi juga membiaskan bayangan sejarah panjang dan diplomasi Vatikan yang belum tentu memihak korban.