Daya Beli Lesu, Masyarakat 'Tahan Diri' Beli Baju Lebaran

Pasar Tanah Abang sepi dari pembeli. Foto: MI/Usman Iskandar.

Daya Beli Lesu, Masyarakat 'Tahan Diri' Beli Baju Lebaran

Insi Nantika Jelita • 27 March 2025 19:19

Jakarta: Ekonom Center of Reform on Economic (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengungkapkan tren ramai-ramai berbelanja menjelang Lebaran 2025 tidak tampak. Hingga pekan ketiga bulan Ramadan, konsumsi rumah tangga dikatakan masih lesu. Kelesuan menjelang hari raya ini dianggap anomali yang menggambarkan ketidakberesan di ekonomi domestik Indonesia.

"Ada sinyal kuat kelompok rumah tangga menengah ke bawah banyak yang mengerem belanja," jelas Yusuf dalam laporan Core Insight 'Awas Anomali Konsumsi Jelang Lebaran 2025', Kamis, 27 Maret 2025.

Yusuf menuturkan gejala anomali konsumsi rumah tangga menjelang Lebaran tertangkap dari tren deflasi pada awal 2025. Badan Pusat Statistik (BPS) kembali mencatat deflasi pada Februari 2025, baik secara tahunan yang minus 0,09 persen dan secara bulanan minus 0,48 persen.

Faktor terbesar penyumbang deflasi juga berasal dari kelompok pengeluaran perumahan, air, listrik dan bahan bakar rumah tangga, yang dipicu oleh insentif diskon tarif listrik 50 persen yang diberikan pemerintah untuk rumah tangga kelas menengah sejak dari Januari hingga Februari 2025 lalu.

Namun, lanjut Yusuf, janggalnya deflasi pada februari 2025 tidak hanya terjadi pada kelompok pengeluaran tersebut. Melainkan juga pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau, dengan andil minus 0,12 persen secara bulanan.

Padahal, menjelang Ramadan pada tahun-tahun sebelumnya, kelompok makanan, minuman, dan tembakau selalu menyumbang inflasi, meskipun ada dorongan kenaikan harga. Pada 2024, kelompok pengeluaran ini memberikan andil inflasi secara bulanan sebesar 0,29 persen pada Februari dan 0,41 persen pada Maret.
 

Baca juga: Kondisi Ekonomi Jadi 'Kambing Hitam' Penurunan IKI
 

IPR Februari diperkirakan merosot 0,5%


Kelesuan konsumsi rumah tangga juga terlihat dari laporan Bank Indonesia yang mencatat Indeks Penjualan Riil (IPR) pada Februari 2025 diperkirakan merosot sebesar 0,5 persen secara tahunan (yoy). Hal ini dipengaruhi jatuhnya penjualan kelompok makanan, minuman, dan tembakau yang minus 1,7 persen.

IPR sendiri mencerminkan tingkat penjualan eceran di beberapa kota besar di Indonesia, salah satu indikator penting dari sisi produsen yang dapat menggambarkan pergerakan konsumsi rumah tangga.

Dengan mengesampingkan kasus covid-19 pada 2020-2021, Rendy menjelaskan pertumbuhan IPR sebetulnya telah melambat sejak 2017. Sebelum 2017, pertumbuhan IPR dikatakan selalu double digit. Tetapi setelah itu pertumbuhan IPR stagnan di bawah lima persen.

"Puncaknya adalah anomali pada Ramadan dan Lebaran 2025. Melemahnya pertumbuhan penjualan beberapa ritel menguatkan hasil survei IPR dari BI," jelas dia.


(Ilustrasi sektor ritel. Foto: dok MI/Rommy Pujianto)
 

Pertumbuhan penjualan ritel anjlok


Core mencontohkan pertumbuhan penjualan perusahaan ritel Indomaret melambat signifikan dari 44,7 persen pada 2022-2023, menjadi hanya 4,0 persen pada 2024. Penjualan ritel Alfamart juga tercatat lesu dari 13,9 persen pada 2022 terpangkas menjadi 10 persen pada 2024. Pun juga Ramayana, dari 8,1 persen pada 2022, menjadi hanya 0,1 persen pada 2024.

Perlambatan juga terjadi pada ritel kelas menengah atas yakni Hypermarket. Pertumbuhan penjualannya tergunting setengah, dari 4,8 persen pada 2022 menjadi hanya 2,3 persen pada 2024. "Matahari bahkan penjualannya terjun bebas minus 2,6 persen pada 2024," urai Yusuf.

Perlambatan dan kejatuhan penjualan di beberapa gerai ritel tersebut sejalan dengan melemahnya pertumbuhan transaksi belanja menggunakan ATM dan debit serta kartu kredit. Bank Indonesia mencatat, pertumbuhan nilai transaksi belanja menggunakan ATM dan kartu debit pada 2024 terkontraksi sangat dalam yakni minus 4,0 persen dibandingkan 2023 yang masih tumbuh 8,0 persen.

Sementara itu, pelemahan juga terjadi di transaksi belanja menggunakan kartu kredit, yang umumnya dilakukan oleh masyarakat menengah atas. Pada 2024, nilai transaksi belanja menggunakan kartu kredit hanya tumbuh delapan persen, jauh di bawah periode 2023 yang mencatatkan pertumbuhan 26 persen.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Husen Miftahudin)