Ilustrasi kurs rupiah terhadap dolar AS. Foto: MI/Adam Dwi.
Husen Miftahudin • 10 January 2025 10:00
Jakarta: Nilai tukar (kurs) rupiah pada pembukaan perdagangan hari ini akhirnya mengalami penguatan setelah berhari-hari terus terdesak penguatan dolar Amerika Serikat (AS).
Mengutip data Bloomberg, Jumat, 10 Januari 2025, rupiah hingga pukul 09.36 WIB berada di level Rp16.175 per USD. Mata uang Garuda tersebut naik sebanyak 42 poin atau setara 0,26 persen dari Rp16.217 per USD pada penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Sementara menukil data Yahoo Finance, rupiah pada waktu yang sama berada di level Rp16.159 per USD, menguat sebanyak 36 poin atau setara 0,22 persen dari Rp16.195 per USD pada penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Analis pasar uang Ibrahim Assuaibi memprediksi rupiah pada hari ini akan bergerak secara fluktuatif, meski demikian rupiah diprediksi akan melemah.
"Untuk perdagangan hari ini, mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp16.200 per USD hingga Rp16.250 per USD," ujar Ibrahim dalam analisis hariannya.
Bergabungnya Indonesia di BRCIS
Ibrahim mengungkapkan, kepesertaan Indonesia di BRICS dinilai sebagai upaya memperkuat hubungan tidak hanya dengan Tiongkok tapi dengan Brasil dan Afrika Selatan maupun negara Timur Tengah. Indonesia juga berpeluang untuk berpartisipasi dalam solidaritas negara Global South dalam mengurangi hegemoni Barat yang ada saat ini.
Di sisi lain, aliansi BRICS tidak begitu memberikan keuntungan untuk Indonesia karena ekonomi Tiongkok diproyeksikan akan melambat terutama pasca kembali terpilihnya Donald Trump yang memicu proteksionisme dagang.
"Ketidakpastian ekonomi global karena perang dagang antara Tiongkok dan AS, akan mengacak stabilitas ekonomi di beberapa negara, dan ini tentunya akan berimbas pada Indonesia. Ditambah lagi ancaman Trump pada negara anggota
BRICS jika melakukan dedolarisasi," papar Ibrahim.
(Ilustrasi rupiah. Foto: dok MI/Rommy Pujianto)
Reaksi Trump perlu untuk diwaspadai, karena dia merupakan salah satu pemimpin yang membuktikan ucapannya. Jika, AS memberlakukan tarif 100 persen pada negara anggota BRICS, tentu Indonesia akan terkena imbas dari kebijakan tersebut.
"Tidak bisa dipungkiri, ini juga akan menjadi tantangan bagi ekonomi Indonesia dalam jangka waktu pendek atau menengah," jelasnya.
Hal ini juga akan menyebabkan penurunan tajam pada volume ekspor, terutama untuk produk-produk yang sangat bergantung pada pasar AS. Tidak hanya itu, kekhawatiran ketergantungan yang semakin kuat pada Tiongkok masih menghantui Indonesia.
"Guna untuk menghindari hal tersebut, Indonesia lebih gencar mendiverifikasi mitra secara bilateral untuk survive dari ketidakpastian ekonomi global di masa yang akan datang," jelas Ibrahim.