Menilai Jokowi

Dewan Redaksi Media Group Jaka Budi Santosa. MI/Ebet

Menilai Jokowi

Media Indonesia • 11 October 2024 06:48

DUA hari lalu saya mengurus perpanjangan STNK sekaligus ganti kaleng pelat nomor motor di salah satu samsat di Kota Tangerang, Banten. Rupanya pungli belum benar-benar mati, ia tetap saja membebani rakyat yang taat membayar pajak.

Awalnya, saat cek fisik kendaraan, pelayanan begitu mengesankan. Cepat, tak macam-macam. Namun, di tahap berikutnya, yakni pengesahan hasil cek fisik di loket yang berbeda, ada pungutan yang terang-terangan dipertontonkan.

Prosesnya, sih, tak bertele-tele sampai berkas saya dinyatakan sah. Namun, untuk mengambilnya kembali, petugas tanpa sungkan meminta uang Rp30 ribu. Dia seorang perempuan yang masih muda. Dari wajahnya, saya taksir usianya paling 20 tahunan.

Saya tak mau begitu saja memberi. Saya balik bertanya, "Ini resmi? Kalau resmi, ada kuitansinya, kan?" Dia agak panik, lalu dengan singkat menjawab, "Nanti saja, Pak, bayarnya di atas."

Proses pengurusan pun berlanjut. Mulai pendaftaran, pembayaran di kasir, hingga pengambilan STNK di lantai dua, semuanya lancar. Barulah di tahap akhir, pengambilan kaleng pelat nomor, ada lagi pungutan. Pelakunya kali ini laki-laki, juga masih muda. Lagi-lagi, saya ogah memberi. Yang lain terpaksa bayar karena takut dipersulit. Mereka tak rela, mereka menyesal setengah mati menjadi korban pungli.

Dalam video pendek yang sedang viral, seorang calon kepala daerah menebar uang dari atas mobil. Dia mengambilnya dari karung dan menghamburkannya lalu menjadi rebutan warga. Dia terlihat senang, tertawa-tawa. Warga pun girang meski menjadi korban politik uang.

Pada 1 Oktober lalu, sebanyak 580 anggota DPR periode 2024-2029 dilantik. Di antara mereka, sedikitnya 79 orang memiliki hubungan kekerabatan dengan penguasa atau elite di partai politik. Ketimbang dengan temuan sejenis oleh Formappi pada 2019-2024 yang menyebutkan 48 nama anggota dewan terpilih punya jaringan politik kekeluargaan, berarti ada peningkatan signifikan. Nepotisme makin marak?

Pungli di samsat termasuk bagian kecil dari gurita korupsi di negeri ini. Saya yakin betul hal serupa juga masih terjadi di tempat-tempat pelayanan publik lainnya. Ia kiranya mengonfirmasi bahwa korupsi bukannya menuju mati, melainkan malah menjadi. Skor indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia yang stagnan di angka 34 pada 2022 dan 2023 menjadi penegasan. Poin itu sama dengan tahun terakhir SBY menjabat pada 2014. Pertanyaannya, jika selama 10 tahun tidak ada peningkatan, begitu-begitu saja, terus apa kerjanya pengelola negara? Ngapain aje Presiden Jokowi? Begitulah sinisme banyak kalangan.
 

Baca Juga: 

Irwasum Komjen Dofiri Diminta Periksa Kapolda Sulsel Terkait Dugaan Intimidasi Wartawan


Memainkan politik uang seperti yang diduga dilakukan salah satu cakada jelas perbuatan tercela. Kenapa ia masih ada, bahkan dikhawatirkan kian merajalela? Salah satunya disebut karena ada contoh buruk dari sananya. Contoh ketika Jokowi jorjoran menggelontorkan bansos yang diyakini untuk memenangkan Prabowo-Gibran di Pilpres 2024. Politik bansos sama dengan politik uang. Hanya beda casing, lain bungkusnya, tapi sama-sama merusak demokrasi.

Nepotisme yang makin menebal di DPR ialah virus jahat reformasi. Ia musuh lama yang semestinya menjadi prioritas penanganan oleh penguasa. Sayang, Jokowi justru larut dalam politik model itu. Baru kali ini ada presiden yang anak dan menantunya menjadi kepala daerah, bahkan wapres terpilih. Celakanya lagi, demi kekuasaan, mereka mengacak-acak aturan dibantu sang paman. Bukannya menyehatkan, Jokowi justru membuat demokrasi sakit, bahkan sekarat. Begitulah banyak orang punya pendapat.

Korupsi, nepotisme, dan demokrasi ialah urusan mental, ihwal karakter bangsa. Apa jadinya bangsa ini jika terus bermental korup? Mau jadi apa negara ini jika nepotisme kian mendapatkan jalan untuk berkuasa?

Pak Jokowi boleh berprestasi dalam pembangunan fisik, pembangunan ekonomi, meski itu pun masih menjadi silang penilaian. Ratusan ribu kilometer jalan desa, jutaan meter jembatan desa, ribuan kilometer tol baru dan jalan nasional, serta puluhan pelabuhan, bandara, bendungan, silakan diglorifikasi.

Semua itu memang penting, tapi akan menjadi kurang penting jika pembangunan mental, penguatan karakter bangsa, terabaikan. Percuma jika elite dan pengelola negara tetap bertabiat maling, akan sia-sia jika nepotisme menggila, tiada artinya jika reformasi akhirnya mati.

Pak Jokowi tinggal menghitung hari. Bagi para loyalis dan pemujanya, dia dipuji setengah mati. Spanduk bertuliskan 'Terima Kasih Pak Jokowi & Bu Iriana, Teruslah Menjadi Guru Bangsa' dibentangkan.
 
Baca Juga: 

Beberapa Hari Sebelum Lengser, Jokowi Bakal Kunker ke IKN


Bagi oposan, Jokowi layak dan harus diadili setelah tak berkuasa nanti. Di mata mereka, ada banyak kesalahan dan andil Jokowi dalam kerusakan bangsa. Pak Jokowi mereka cap pembohong. Penulis Australia Ben Bland malah menggambarkan Jokowi dalam bukunya berjudul Man of Contradictions: Joko Widodo and The Struggle to Remake Indonesia sebagai manusia kontradiksi.

Jokowi memang unik. Banyak yang memuji, tapi tak sedikit yang mencaci. Banyak yang memuja, tapi banyak pula yang mencercanya. Biarkan sejarah menulis apa yang seharusnya ditulis. Yang pasti, bagi saya, memosisikannya sebagai guru bangsa ialah majas hiperbola.

Dalam akronim Jawa, guru artinya digugu lan ditiru (dipercaya dan diikuti). Setahu saya, guru bangsa ialah orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Bukan yang kelebihan syahwat untuk terus berkuasa, tidak mementingkan keluarga, dan tidak abai dengan mental bangsa.

(Dewan Redaksi Media Group Jaka Budi Santosa)

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Achmad Zulfikar Fazli)