Jalan Berliku Perempuan Korban Kekerasan Mendapat Keadilan

Ilustrasi. Medcom.id.

Jalan Berliku Perempuan Korban Kekerasan Mendapat Keadilan

Atalya Puspa • 8 December 2023 16:29

Jakarta: Keberadaan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang bertujuan melindungi perempuan dari segala tindak kekerasan, masih jauh dari ekspektasi. Perempuan masih harus menghadapi jalan berliku untuk mendapatkan keadilan. 

"Banyak hambatan dan tantangan yang dihadapi korban dan penyintas sehingga banyak korban dan penyintas yang enggan melaporkan kasus kekerasan ke proses hukum," kata Divisi Pelayanan Hukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jakarta Tuani Sondang dalam acara Peluncuran Laporan Tahunan 2023 LBH APIK Jakarta di Jakarta, Jumat, 8 Desember 2023.

Menurut Tuani, beberapa kendala yang dihadapi yaitu masih belum ada kesepahaman aparat penegakan hukum dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan. LBH APIK sering menemui kesulitan dalam mendampingi kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan status nikah sirih. 

Korban KDRT itu sulit mendapat pelayanan dari aparat penegak hukum dan bahkan tidak bisa mendapatkan visum gratis. Padahal, kata dia, aturan menyebutkan bahwa korban kekerasan bisa mendapat visum gratis.

"Kasus nikah sirih masuk dalam UU KDRT. Tapi misalnya ketika kami menangani kasus di Polres Jakarta Timur, itu bisa ditangani dan mendapat visum gratis, tapi di Polres lain belum bisa dan masih pakai visum yang berbayar," beber dia.

Selanjutnya, aparat penegak hukum dinilai belum berorientasi membela korban. Makanya, korban rentan mendapatkan diskriminasi.

"Ketika korban berani melaporkan kemudian dianggap sebagai aib. Ada kasus korban dari universitas keagamaan, dan kemudian saat melapor dipertanyakan oleh penegak hukum, kok kamu mau digituin? Akibatnya psikologis korban down ketika diperlakukan seperti itu," ungkap Tuani.
 

Baca juga: Menteri PPPA Dorong Implementasi UU TPKS untuk Tekan Kekerasan Seksual

Selain mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari penegak hukum, korban kekerasan seksual pun rentan dilaporkan balik sang terlapor. LBH APIK pernah menemukan kasus itu. Seorang istri melaporkan suaminya terkait kasus KDRT, namun sang suami melaporkan balik atas tuduhan pencemaran nama baik.

Berdasarkan catatan LBH APIK Jakarta, sepanjang 2023 ada 901 laporan kekerasan terhadap perempuan di wilayah Jabodetabek dan 240 laporan kasus nonkekerasan terhadap perempuan. Angka itu disebut Tuani menurun dibanding tiga tahun terakhir. 

"Tapi bukan berarti kasus kekerasan menurun. Dalam dua tahun yakni 2022 dan 2021 naik karena ada situasi pandemi dan berdampak pada KDRT," kata dia.

Dari total laporan pada 2023, ada 497 laporan kekerasan seksual, 201 laporan KDRT dan 141 kekerasan dalam pacaran (KDP). 

Lantaran keterbatasan LBH APIK Jakarta, dari total laporan yang masuk, hanya 66 yang diproses di kepolisian. Aatu kasus diproses di kejaksaan dan 12 kasus di pengadilan. Selain itu, ada 191 kasus yang berakhir dengan pendampingan konsultasi.

Tuani mengakui ada banyak hambatan dalam melakukan pendampingan. Antara lain, masih minimnya sumber daya manusia yang ada. LBH APIK Jakarta hanya memiliki 27 orang paralegal. Sisanya dibantu empat orang konselor yang merupakan mahasiswa psikologi, satu relawan, dan lima mahasiswa magang.

Menurut dia, perlu kerja sama berbagai pihak untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan. Pasalnya, kekerasan dapat berdampak sangat buruk bagi fisik, seksual, ekonomi hingga sosial.

"Banyak korban yang kemudian baru berani melapor dua tahun setelah kejadian kekerasan. Tapi kangan ada kalimat yang terucap kenapa baru lapor? Karena kita kadang luput pada dampak dari kekerasan itu. Kita harus maklumi, terutama karena adanya dampak psikologis," jelas Tuani.
 
Baca juga: Macan Ompong UU TPKS

Perwakilan dari Polri AKBP Erma Rahmawati mengakui belum semua aparat penegak hukum memahami penanganan kasus kekerasan seksual. Khususnya, KDRT.

"Sampai saat ini, di lingkup polisi, jaksa, hakim, masih muncul pertanyaan, apa yang disebut sebagai lingkup rumah tangga? Perkawinan seperti apa? Lalu suami istri apakah harus ada bukti nikah atau harus ada bukti lain? Semua peraturan itu belum dipahami jaksa dan imbasnya pada kami," kata Erma.

Penanganan laporan kekerasan terhadap perempuan yang masih lamban dinilai harus menjadi pemmbelajaran bagi semua pihak, mulai dari tingkat Mabes Polri hingga Polsek. Erma mengakui ada beberapa kasus KDRT yang kemudian diarahkan ke kasus penganiayaan. Hal itu dilakukan semata karena jaksa belum bisa sepenuhnya menerima aduan mengenai KDRT.

Mengenai kapasitas aparat penegak hukum di tingkat tapak yang masih terkadang memojokkan korban, Erma menyatakan itu memang tantangan yang berat. Pihaknya mengeklaim sudah melakukan pelatihan dari tingkat Mabes Polri sampai Polsek. Namun, kadang ada petugas yang telah mendapat pelatihan malah dipindahtugaskan untuk kebutuhan pendidikan, ataupun naik pangkat.

"Tapi kemudian ada yang baru, belum paham. Dan pelatihan yang kami lakukan terbatas. Jadi yang sudah pernah pelatihan pindah, dan yang baru datang, itulah yang jadi kendala," beber Erma.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Arga Sumantri)