Rupiah. Foto: dok MI.
Husen Miftahudin • 19 February 2025 09:41
Jakarta: Nilai tukar (kurs) rupiah pada pembukaan perdagangan hari ini kembali mengalami pelemahan.
Mengutip data Bloomberg, Rabu, 19 Februari 2025, rupiah hingga pukul 09.20 WIB berada di level Rp16.360 per USD. Mata uang Garuda tersebut melemah sebanyak 80 poin atau setara 0,49 persen dari Rp16.280 per USD pada penutupan perdagangan sebelumnya.
Sementara menukil data Yahoo Finance, rupiah pada waktu yang sama berada di level Rp16.354 per USD. Rupiah melemah sebanyak 85 poin atau setara 0,52 persen dari Rp16.269 pada penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Analis pasar uang Ibrahim Assuaibi memprediksi rupiah pada hari ini akan bergerak secara fluktuatif, meski demikian rupiah diprediksi akan melemah.
"Untuk perdagangan hari ini, mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp16.260 per USD hingga Rp16.320 per USD," ujar Ibrahim dalam analisis hariannya.
Tarif Trump
Ibrahim menyampaikan pelemahan rupiah didorong ketidakpastian yang berkelanjutan atas rencana Presiden AS Donald Trump untuk tarif perdagangan, bahkan ketika Trump mengisyaratkan tarif timbal baliknya pada mitra dagang AS baru akan dikenakan pada April.
Namun laporan selama akhir pekan menunjukkan Uni Eropa sedang mempertimbangkan kontrol impor pada barang-barang AS tertentu, sebuah langkah yang dapat menandai peningkatan ketegangan perdagangan dengan AS.
Trump minggu lalu mengenakan tarif 25 persen pada semua impor baja dan aluminium, meningkatkan kekhawatiran atas tindakan pembalasan dari negara lain. Selain itu, pasar tetap waspada terhadap suku bunga AS yang tetap tinggi untuk waktu yang lebih lama.
Gubernur Federal Reserve Christopher Waller mengatakan meskipun ia tidak melihat tarif Trump menyebabkan lonjakan besar dalam inflasi, ia masih mendukung untuk mempertahankan suku bunga tetap stabil untuk waktu yang lebih lama. Komentar Waller muncul setelah data minggu lalu menunjukkan inflasi AS tumbuh lebih dari yang diharapkan pada Januari.
"Fokus investor minggu ini akan tertuju pada rilis risalah rapat Federal Reserve pada Januari untuk mengukur bagaimana para pembuat kebijakan telah berupaya mempertimbangkan risiko perang tarif yang lebih luas menyusul kebijakan perdagangan Trump," jelas Ibrahim.
Data minggu lalu menunjukkan harga konsumen AS meningkat pada laju tercepat dalam hampir 18 bulan pada Januari, memperkuat pesan Fed mereka tidak terburu-buru untuk melanjutkan pemotongan suku bunga di tengah meningkatnya kekhawatiran ekonomi.
(Ilustrasi kurs rupiah terhadap dolar AS. Foto: MI/Susanto)
Kebijakan DHE SDA
Kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) Sumber Daya Alam (SDA) 100 persen setahun bakal menantang untuk eksportir. Kebijakan ini utamanya akan mengganggu stabilitas kas usaha. Selain itu, kebijakan yang sama juga akan mengubah struktur permodalan para pelaku industri yang masih menggunakan bahan baku impor.
Ke depan, para pelaku industri juga akan menanggung biaya yang lebih besar dari sebelumnya, terlebih modal kerja untuk melakukan impor berasal dari pinjaman bank. "Dan kebijakan ini akan mengganggu arus kas eksportir, terutama bagi eksportir industri kecil dan sedang," jelas Ibrahim.
Industri masih punya celah untuk mengakali kebijakan
DHE SDA. Caranya, dengan melakukan under invoicing atau menempatkan devisa secara ilegal di negara yang memberikan instrumen penempatan yang lebih menggiurkan.
"Di sinilah tingkat kepatuhan pengusaha akan diuji untuk implementasi kebijakan ini. Apalagi, jika belum adanya instrumen keuangan yang menarik dan fleksibel bagi para eksportir untuk melaksanakan DHE SDA. Selama 2024, berdasarkan catatannya, kebijakan DHE SDA PP 36/2023 hanya berhasil memasukkan USD14 miliar," terangnya.
Capaian ini jauh di bawah target pemerintah 2023 sebesar USD40 miliar hingga USD49 miliar, meskipun tingkat kepatuhan diklaim hampir mencapai 90 persen. Adapun kebijakan DHE SDA ini diharapkan dapat memperkuat cadangan devisa sehingga fluktuasi nilai tukar.