Kasus Barito Utara Jadi Noda Demokrasi di Tengah Keterbatasan Anggaran Pilkada

Wakil Ketua Komisi II DPR Dede Yusuf. Foto: Metrotvnews.com/Fachri.

Kasus Barito Utara Jadi Noda Demokrasi di Tengah Keterbatasan Anggaran Pilkada

Fachri Audhia Hafiez • 16 May 2025 13:10

Jakarta: Praktik politik uang yang terjadi saat gelaran pemungutan suara ulang (PSU) Pikada Barito Utara 2024 dinilai jadi noda demokrasi. Terlebih, kasus itu terjadi di tengah kesulitan anggaran daerah menggelar PSU.

"Ya ini catatan demokrasi kita yang buruk lah, di tengah anggaran kita yang sudah sangat tidak memungkinkan adanya pilkada ulang. Karena daerah enggak ada duit," kata Wakil Ketua Komisi II DPR Dede Yusuf saat dihubungi dikutip Jumat, 16 Mei 2025.

Politikus Partai Demokrat itu mengaku kecewa dengan kejadian tersebut. Sebab, gelaran PSU itu mestinya dijaga agar tak kembali membuat pelanggaran pilkada dan berujung pencoblosan ulang.

"Ya kita cukup kecewa juga ya, karena kita sudah amanatkan kepada pemerintah, KPU, Bawaslu, Kemendagri bahwa jaga baik-baik jangan sampai Pilkada ini sudah PSU, nanti di-PSU-kan kembali oleh MK, dan ternyata benar," ujar Dede.
 

Baca juga: Bawaslu: Ada Kekosongan Aturan Pelanggaran Politik Uang di Barito Utara Masuk Kategori TSM

Kasus itu mestinya tak terjadi jika para peserta pilkada patuh aturan di undang-undang pilkada. Termasuk pengawasan ketat yang mestinya dilakukan oleh penyelenggara.

"Itu yang bisa melakukan itu adalah Bawaslu, dan itu harus dibawa kepada gakkumdu di daerah, kan pasti ada temuan-temuan. Enggak mungkin tidak ketemu yang angkanya begitu besar kan, artinya dari sisi penyelenggara juga lalai, atau jangan-jangan dibiarkan," ucap eks Wakil Gubernur Jawa Barat itu.

Mahkamah Konstitusi (MK) mendiskualifikasi semua pasangan calon (paslon) di Pilkada Barito Utara karena terbukti melakukan politik uang. MK memerintahkan agar dilaksanakan pemilihan suara ulang (PSU) dengan paslon yang baru.

Dua pasangan calon yang berlaga di Pilkada Barito Utara, yakni paslon nomor urut 1 H Gogo Purman Jaya-Hendro Nakalelo dan paslon nomor urut 2 Akhmad Gunadi Nadalsyah-Sastra Jaya harus dibatalkan setelah keduanya terbukti politik uang.

MK menemukan fakta adanya pembelian suara pemilih untuk memenangkan para paslon dengan nilai mencapai Rp6,5 juta hingga Rp16 juta untuk satu pemilih. Bahkan salah satu saksi mengaku telah menerima uang Rp64 juta untuk satu keluarga.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Anggi Tondi)