Dugaan Keterlibatan UEA dalam Perang Sudan, Tuduhan dan Motifnya

Para pengunjuk rasa berkumpul di luar Kedutaan Besar UEA, membentangkan spanduk dan menyerukan tindakan atas pembantaian di Sudan (Foto: Amgad Abdelgadir / RD)

Dugaan Keterlibatan UEA dalam Perang Sudan, Tuduhan dan Motifnya

Riza Aslam Khaeron • 30 October 2025 13:20

Jakarta: Lebih dari 2.000 warga sipil dilaporkan tewas dalam waktu singkat usai kota El-Fasher direbut oleh pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF).

Laporan-laporan kredibel, termasuk rekaman satelit dan investigasi lembaga kemanusiaan, menuduh RSF melakukan pembantaian etnis terhadap warga Fur, Zaghawa, dan Berti secara sistematis.

Perang yang telah berlangsung sejak tahun 2023 tersebut kembali menjadi sorotan dan beberapa menunjuk negara Uni Emirat Arab (UEA) sebagai pihak yang bertanggung jawab.

Tuduhan terhadap UEA atas perannya dalam perang Sudan yang telah memakan lebih dari 150 ribu korban jiwa dan menghasilkan jutaan pengungsi lainnya telah lama dilontarkan oleh organisas-organisasi internasional.

Lantas, bagaimana sebenarnya dugaan peran UEA dalam memperpanjang konflik berdarah di Sudan? Berikut penjelasannya berdasarkan dokumen resmi, laporan investigasi, dan fakta-fakta yang telah diverifikasi.
 

Transfer Persenjataan oleh UEA untuk RSF

Foto: Bom GB50A buatan Tiongkok di perang Sudan. (Amnesty International_

Dalam beberapa laporannya, Amnesty International mengungkap bukti kuat yang menunjukkan keterlibatan UEA dalam pelanggaran embargo senjata Dewan Keamanan PBB.

Salah satu temuan penting tercatat pada 9 Maret 2025, ketika RSF menggunakan bom udara terpandu Norinco GB50A buatan Tiongkok dalam serangan drone di al-Malha, Darfur Utara. Ini merupakan penggunaan pertama di dunia atas bom tersebut dalam konflik bersenjata.

Penanda produksinya menunjukkan bahwa bom ini dibuat pada tahun 2024 dan kompatibel dengan drone Wing Loong II dan FeiHong-95—jenis drone yang diketahui telah dipasok UEA kepada RSF.

Selain itu, Amnesty juga menemukan keberadaan howitzer 155mm AH-4 buatan Norinco di Khartoum. Menariknya, satu-satunya negara yang tercatat mengimpor senjata ini dari Tiongkok adalah UEA pada tahun 2019. 

Tak hanya itu, sebelumnya pada 14 November 2024, laporan Amnesty lainnya mencatat penggunaan kendaraan lapis baja Nimr Ajban produksi Edge Group (UEA) oleh pasukan RSF. 
 

Jalur Pasokan dan Jaringan Keuangan di UEA

Laporan Akhir Panel Ahli PBB tentang Sudan pada 15 Januari 2024 mengungkap adanya tiga jalur utama pasokan senjata menuju RSF, dengan jalur paling signifikan melalui wilayah timur Chad.

Panel mencatat bahwa sejak Juni 2023, terdapat peningkatan signifikan dalam frekuensi penerbangan kargo dari Abu Dhabi ke bandara Am Djarass, yang kerap transit di negara-negara seperti Kenya, Rwanda, dan Uganda.

Meski UEA mengklaim bahwa penerbangan-penerbangan tersebut bertujuan mengirimkan bantuan kemanusiaan dan mendirikan rumah sakit lapangan, informasi dari berbagai sumber di Chad dan Darfur menunjukkan bahwa dugaan pengiriman senjata dari penerbangan tersebut dianggap kredibel.

Kargo tersebut diduga mencakup UCAV (drone tempur), rudal, mortir, amunisi, dan kendaraan tempur, yang kemudian disalurkan ke Darfur melalui jalur darat dari Chad.

Di bidang keuangan, Panel juga menemukan adanya jaringan perusahaan proksi milik RSF yang beroperasi di Dubai. Salah satu tokoh kunci dalam jaringan ini adalah mantan pejabat senior Bank Sentral Sudan yang bertindak sebagai penasihat keuangan RSF.

Ia terlibat dalam pengelolaan transaksi besar, termasuk pengiriman emas sebanyak 50 kilogram pada Mei 2023, yang digunakan sebagai sumber pendanaan utama RSF setelah pecahnya konflik.
 

Keterlibatan Personel Militer UEA di Sudan

Laporan eksklusif The Guardian tahun 2024 mengungkap temuan dokumen internal yang dikirim ke Dewan Keamanan PBB, ditemukan di reruntuhan kendaraan milik RSF di Omdurman. Dokumen tersebut memuat paspor Emirat yang diduga kuat milik seorang petugas intelijen Uni Emirat Arab.

Temuan ini diperkuat dengan adanya laporan dalam dokumen tersebut bahwa UEA telah mengirimkan drone yang dimodifikasi untuk menjatuhkan bom termobarik ke tangan RSF.

Kotak pengiriman drone tersebut bahkan diberi label atas nama "UAE Armed Forces, joint logistics command based in Abu Dhabi," yang mengindikasikan keterlibatan militer resmi.

Kendati demikian, UEA membantah seluruh tuduhan dan mengklaim bahwa individu dalam dokumen tersebut berada di Sudan untuk menjalankan misi kemanusiaan sebelum pecahnya perang.

Meski begitu, pemantau sanksi dari PBB menilai bahwa dugaan dukungan militer UEA terhadap RSF tetap layak dipercaya dan masuk kategori "credible."
 
Baca Juga:
Penjelasan Perang Sudan: Aktor, Kronologi, dan Tuduhan Genosida
 

Kenapa UEA Mendukung RSF?


Foto: Penjualan emas di UAE. (Middle East Economy)

Motif UEA masih menimbulkan perdebatan, namun ada beberapa teori yang cukup populer dikalangan analis. Pertama adalah untuk mendapatkan emas.

Melansir the TIME Magazine, Sudan merupakan eksportir emas terbesar di Afrika, dan lebih dari 70% ekspornya berupa emas—sebagian besar menuju UEA, yang menjadi importir emas terbesar ketiga di dunia.

RSF menguasai banyak ladang emas di Sudan timur dan diduga menyelundupkan 50–80% produksinya secara ilegal, terutama ke pasar Dubai, pusat perdagangan emas global yang dikenal tidak ketat dalam uji asal-usul logam mulia.

Selain emas, UEA memiliki kepentingan besar dalam sektor pertanian Sudan.

Dengan 90% kebutuhan pangannya diimpor, UEA berinvestasi di lahan-lahan luar negeri demi menjamin ketahanan pangan jangka panjang. Sudan, sebelum perang, merupakan lumbung pangan utama Afrika dan menjadi sasaran investasi agraria UEA.

Dua perusahaan Emirat dilaporkan mengelola lebih dari 50.000 hektare di wilayah utara Sudan.

Namun di luar motif ekonomi dan geopolitik, para analis menilai bahwa UEA juga sangat terdorong oleh motif ideologis. Melansir the Economist, pemerintahan Presiden Muhammad bin Zayed dikenal memiliki posisi keras terhadap kelompok Islamis dan secara konsisten menentang pengaruh Ikhwanul Muslimin di kawasan.

Sudan, meskipun telah menggulingkan rezim Omar al-Bashir pada 2019, masih menyisakan pengaruh besar dari elemen Islam politik di dalam tubuh militernya, termasuk dalam kubu SAF.

Inilah yang diduga menjadi salah satu alasan utama UEA lebih memilih mendukung RSF, yang dianggap lebih pragmatis dan jauh dari pengaruh ideologi Islam politik.

Motif serupa juga terlihat dalam kebijakan luar negeri UEA di negara-negara lain. Di Libya, UEA mendukung Khalifa Haftar, seorang jenderal pemberontak yang berupaya menggulingkan pemerintah Tripoli yang didukung PBB, karena pemerintah tersebut dianggap terlalu dekat dengan kelompok Islamis. Khalifa juga diduga terlibat dalam konflik Sudan.

Di Yaman, UEA lebih memilih mendukung kelompok separatis Southern Transitional Council (STC) ketimbang mendukung sekutu Arab Saudi yang beraliansi dengan Partai Islah, cabang lokal Ikhwanul Muslimin.

UEA juga memperkuat hubungan dengan pemerintahan de facto di Puntland dan Somaliland, wilayah-wilayah separatis di Somalia, untuk memperluas pengaruh regionalnya sekaligus membendung dominasi kelompok Islamis di kawasan Tanduk Afrika.

Kebijakan ini mencerminkan pola konsisten: UEA berupaya membentuk lingkup pengaruh strategis dengan mengandalkan kekuatan-kekuatan lokal non-negara yang sejalan dengan visinya, meski harus berseberangan dengan mitra besar seperti Amerika Serikat.

Dukungan terhadap RSF juga dinilai sebagai kelanjutan dari hubungan personal dengan Hemedti, pemimpin RSF, yang sebelumnya telah mengirim ribuan tentara bayaran untuk mendukung operasi militer UEA di Yaman.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Arga Sumantri)