Militan di Sudan. (Ken Mungai / BBC)
Riza Aslam Khaeron • 30 October 2025 11:09
Jakarta: Kabar mengejutkan datang dari Sudan. Kota El-Fasher di Darfur Barat baru saja jatuh ke tangan kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF), dan dalam hitungan hari, lebih dari 2.000 warga sipil tak bersenjata dilaporkan dieksekusi.
Video yang beredar memperlihatkan aksi brutal RSF, termasuk penembakan jarak dekat terhadap warga yang duduk pasrah.
Bukti satelit dan laporan dari Humanitarian Research Lab Universitas Yale menunjukkan adanya pembersihan etnis yang disengaja terhadap komunitas Fur, Zaghawa, dan Berti. RSF diduga melakukan operasi dari rumah ke rumah, mengusir, mengeksekusi, dan menghilangkan jejak.
PBB menyebutkan risiko genosida sedang berlangsung, menggemakan kembali trauma lama Darfur.
Peristiwa ini memuncak di tengah perang saudara berdarah yang telah berlangsung sejak 2023, menewaskan ratusan ribu orang dan membuat jutaan lainnya terusir dari rumah. Lantas, apa yang sebenarnya memicu konflik berdarah ini dan siapa saja pihak yang terlibat? Berikut penjelasan menyeluruh mengenai perang Sudan.
Latar Belakang dan Kronologi Konflik
Foto: Pasukan RSF. (Darfur24)
Perang saudara di
Sudan meletus pada 15 April 2023, dipicu perebutan kekuasaan antara dua tokoh militer paling berpengaruh di negara tersebut: Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, pemimpin Angkatan Bersenjata
Sudan (SAF) dan kepala negara de facto, serta Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo atau Hemedti, komandan pasukan paramiliter RSF.
Konflik ini merupakan kelanjutan dari ketegangan pasca-jatuhnya Presiden Omar al-Bashir pada 2019. Meski sempat dibentuk pemerintahan transisi sipil-militer, kudeta baru terjadi pada Oktober 2021 yang dikomandoi oleh Burhan dan Hemedti.
Perselisihan keduanya memuncak saat dibahas rencana integrasi RSF ke dalam SAF: siapa yang akan memimpin kekuatan bersenjata gabungan menjadi pertanyaan besar. Keduanya diduga tidak ingin kehilangan kekuasaan dan kekayaan yang mereka kendalikan.
Ketegangan berubah menjadi konfrontasi bersenjata setelah pergerakan pasukan RSF di berbagai wilayah dinilai sebagai ancaman oleh SAF. Siapa yang memulai tembakan pertama masih diperdebatkan, namun pertempuran langsung menyebar ke seluruh negeri.
Pada minggu-minggu pertama, RSF berhasil menguasai sejumlah bagian ibu kota Khartoum dan fasilitas strategis, termasuk bandara dan istana presiden. Pertempuran juga menyebar cepat ke wilayah lain seperti Darfur dan Kordofan.
Di saat yang sama, warga sipil menjadi korban utama, terjebak di antara dua kekuatan bersenjata.
Sepanjang 2023, pertempuran berubah menjadi perang berkepanjangan, dengan gencatan senjata yang beberapa kali disepakati namun terus dilanggar. Pada Desember 2023, RSF mengambil alih kota Wad Madani di provinsi Gezira, memicu gelombang pengungsian besar-besaran. Namun, SAF merebut kembali kota tersebut pada Februari 2024.
Tahun 2024 hingga 2025 ditandai dengan meningkatnya penggunaan senjata berat dan drone, serta intervensi aktor regional. RSF diduga menerima bantuan senjata dari jaringan Khalifa Haftar di Libya timur dan sumber-sumber emas ilegal. Pada Maret 2025, SAF berhasil merebut kembali Khartoum, namun RSF membalas dengan serangan udara ke Port
Sudan.
Puncaknya terjadi pada Oktober 2025 ketika RSF merebut El-Fasher, kota terakhir yang masih dikuasai SAF di Darfur. Penaklukan ini disertai dugaan pembantaian besar-besaran terhadap warga etnis Fur, Zaghawa, dan Berti, yang dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan risiko genosida oleh berbagai lembaga internasional.
Saat ini,
Sudan masih terpecah dan tanpa pemerintahan tunggal yang efektif. Proses perdamaian menghadapi jalan buntu, sementara rakyat terus menderita di tengah krisis kemanusiaan terburuk dalam sejarah modern negara tersebut.
Kekuasaan Terbagi: Siapa Menguasai Apa?
Gambar: Peta wilayah kekuasaan RSF (Merah) dan SAF (Biru). (Liveuamap)
Seiring berjalannya waktu,
Sudan terbelah menjadi wilayah kekuasaan dua faksi:
1. RSF
-
Menguasai hampir seluruh wilayah Darfur dan sebagian besar Kordofan.
-
Menang besar pada Juni 2025 ketika merebut wilayah perbatasan dengan Libya dan Mesir.
-
Pada akhir Oktober 2025, RSF berhasil merebut kota El-Fasher, pusat pertahanan terakhir SAF di Darfur. Selama 18 bulan sebelumnya, kota ini dikepung ketat oleh RSF dengan strategi brutal termasuk pemblokiran bantuan pangan, pemboman fasilitas sipil, dan penghancuran kamp pengungsi Zamzam.
RSF juga mendeklarasikan pemerintahan tandingan, meningkatkan risiko perpecahan Sudan untuk kedua kalinya setelah kemerdekaan Sudan Selatan tahun 2011.
2. Angkatan Bersenjata Sudan (SAF)
-
Masih menguasai sebagian besar wilayah utara dan timur, termasuk Port Sudan, markas pemerintahan yang diakui secara internasional.
-
Mendapat dukungan dari Mesir dan mengandalkan kontrol atas pelabuhan Laut Merah serta Sungai Nil.
-
SAF juga merebut kembali provinsi strategis Gezira, yang sempat dikuasai RSF pada akhir 2023. Perebutan kembali kota Wad Madani menjadi kemenangan besar SAF.
Namun, RSF tetap menjadi ancaman serius, bahkan meluncurkan serangan drone ke Port Sudan pada Maret 2025.
Aktor Asing dan Tuduhan Intervensi
Konflik ini diduga melibatkan kepentingan regional dan internasional:
-
Uni Emirat Arab (UEA) dituduh mendukung RSF dengan pendanaan, perdagangan emas ilegal, dan serangan drone. Tuduhan ini dibantah oleh UEA dan sempat dibawa ke Mahkamah Internasional oleh pemerintah Sudan, namun ditolak karena alasan yurisdiksi.
-
Khalifa Haftar, tokoh militer Libya timur, juga disebut membantu menyelundupkan senjata ke RSF dan mengirimkan pejuang bayaran.
-
Sementara itu, Mesir secara politis mendukung SAF demi stabilitas perbatasan dan pengelolaan Sungai Nil.
Kekejaman dan Tuduhan Genosida
Konflik ini telah menewaskan lebih dari 150.000 jiwa dan menyebabkan sekitar 12 juta orang terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka. Menurut PBB, situasi ini menjadi salah satu krisis kemanusiaan terbesar di dunia saat ini.
Tragedi ini semakin memilukan dengan adanya laporan tentang kekejaman yang dilakukan secara sistematis terhadap warga sipil di berbagai wilayah konflik.
Human Rights Watch dan UNICEF mencatat berbagai pelanggaran berat yang dilakukan oleh pihak-pihak bertikai, terutama RSF.
Di antara pelanggaran tersebut adalah pemerkosaan terhadap anak-anak, pembunuhan yang ditargetkan terhadap kelompok etnis tertentu, serta pemusnahan sistematis terhadap komunitas Masalit dan kelompok non-Arab lainnya di wilayah Darfur.
Pada Januari 2025, pemerintah Amerika Serikat secara resmi menyatakan bahwa RSF telah melakukan tindakan genosida.
Pernyataan tersebut didasarkan pada bukti pembunuhan bayi laki-laki, pemerkosaan massal terhadap perempuan non-Arab, serta blokade bantuan kemanusiaan yang semakin memperparah penderitaan warga sipil.