Menuju COP 30, Indonesia Harus Berbenah dalam Mengatasi Kerusakan Lingkungan

Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat (Rerie). Dok Tangkapan Layar

Menuju COP 30, Indonesia Harus Berbenah dalam Mengatasi Kerusakan Lingkungan

Despian Nurhidayat • 30 July 2025 17:04

Jakarta: Indonesia akan berpartisipasi dalam COP 30 yang akan berlangsung di Brazil pada November 2025. Wakil Ketua MPR, Lestari Moerdijat, mengatakan seluruh pihak tidak bisa menutup mata atas kerusakan lingkungan di Indonesia yang terus terjadi. 

“Catatan yang ada di kami bahwa di 2025 sendiri isu penting seperti deforestasi, sampah, eksploitasi pulau-pulau kecil, bencana alam, limbah tekstil, serta berbagai bentuk pencemaran udara, air, tanah, dan laut masih terus menerus terjadi,” ungkap Lestari dalam Forum Diskusi Denpasar 12 bertajuk Menakar Kesiapan NDC Indonesia Menuju COP 30 di Brazil, Rabu, 30 Juli 2025. 

Mengutip data dari Walhi, deforestasi diperkirakan mencapai 600 ribu hektare (ha) dengan potensi peningkatan laju yang tidak boleh disepelekan. Demikian juga angka timbunan sampah mencapai 33,621 juta ton per tahun. 

“Ini angka yang luar biasa. Lebih dari atau hampir mencapai 40 persen timbunan sampah tidak terolah, hampir separuhnya. Selain itu, berbagai isu yang memunculkan dampak yang bukan hanya berpengaruh pada lingkungan, tapi juga sosial yaitu adanya eksploitasi pulau-pulau untuk pertambangan dan lemahnya penegakan hukum lingkungan,” tegas Rerie, sapaan akrab Lestari. 

Di tempat yang sama, Anggota Komisi XII DPR, Syarif Fasha, mengatakan dalam keterlibatan di COP 30, Indonesia harus memiliki tawar menawar yang tinggi agar dapat memenuhi kebutuhan dalam rangka mencapai target pengurangan emisi. 

“Jadi kita harus tegas menyampaikan pada dunia apa kebutuhan kita untuk mengurangi emisi,” kata Syarif. 

Menurut dia, perubahan iklim global merupakan hal mendesak untuk menjadi dasar bagi Indonesia dalam melaksanakan transisi energi menuju sumber energi yang terbarukan. 

“Indonesia memiliki potensi besar EBT (energi baru terbarukan), namun pemanfaatannya masih terbatas. Itu yang terjadi sekarang,” ujar Syarif. 
 

Baca Juga: 

Revitalisasi Zona 3 Sungai Jagir: Ruang Terbuka Hijau Baru dan Kolaborasi Lintas Sektor


Energi merupakan penyumbang utama dari emisi. Untuk meratifikasi hal ini, Indonesia dapat melakukan optimalisasi EBT yang akan menjadi kunci pencapaian target NDC Indonesia. 

“Saya kira semua pihak sepakat dengan hal ini, tinggal bagaimana kebijakan pemerintah. Karena kebiasaan kita itu ganti pemimpin ganti kebijakan. Sehingga kebijakan yang berjalan kadang kala bertukar,” ujar Syarif.

Potensi EBT Indonesia sangat besar, seperti energi surya Indonesia bisa mendapatkan potensi lebih dari 400 giga watt. Untuk energi air potensinya 75 giga watt. Lalu, ada panas bumi dan lain sebagainya yang potensinya mencapai lebih dari 100 giga watt. 

“Kita memang belum siap untuk memaksimalkan potensi ini, tapi kita harus mulai melaksanakan program EBT ini,” tegas Syarif. 

Deputi Bidang Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon, Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup, Ary Sudijanto, menjelaskan secara total, Indonesia menargetkan penurunan 915 juta ton Co2 eq emisi dari 5 sektor yaitu energi, waste, IPPU, agrikultur, dan FOLU dengan usaha sendiri. 

“Tapi kalau dengan bantuan negara maju bisa mencapai 1,240 giga ton Co2 eq,” ujar Ary. 

Dia mengatakan capaian NDC Indonesia di 2023 sebetulnya sudah surplus atau lebih rendah dari komitmen dengan usaha sendiri sebesar 234 juta ton Co2 eq. 

“Kita sedang diminta untuk menyusun second NDC yang masa berlakunya sejak 31 Januari 2031 sampai 31 Desember 2035. Jadi meskipun kita akan segera melakukan submission untuk second NDC, diharapkan sebelum 22 September 2025 kita bisa melakukan submission karena Indonesia termasuk ke dalam G35 atau 35 negara yang sangat ditunggu sumbisi di UNFCCC karena kita dianggap sebagai negara yang mampu mendorong negara lain untuk bisa mensubmisi NDC mereka. Lalu, NDC Indonesia sebetulnya tergolong yang paling lengkap karena berisikan secara detail komitmen yang akan dicapai. Negara lain itu biasanya NDC yang disampaikan secara kualitatif,” kata Ary. 

Berbicara soal emisi, penggunaan transportasi darat juga tentu merupakan hal yang berpengaruh pada peningkatan emisi. Wakil Ketua Bidang Angkutan Umum, Organisasi Angkutan Darat (Organda), Andrew Arristianto, menekankan penggunaan transportasi umum merupakan jawaban untuk dapat mengurangi emisi yang disebabkan oleh transportasi darat. 

“Hal yang menarik sebetulnya kalau kita bisa mengonversi perjalanan masyarakat menggunakan kendaraan umum, baik itu bus atau kereta dapat mengurangi emisi. Penggunaan bus dapat mengurangi 40 persen dan kereta mencapai 70 persen,” ucap Andrew. 

Sementara itu, Kepala Divisi Pelibatan Publik Sekretariat Nasional Walhi, Adam Kurniawan, menegaskan isu terkait dengan pengurangan emisi di Indonesia sangat erat hubungannya dengan sumber penghidupan rakyat. 

“Maka dari itu, membicarakan isu lingkungan bukan hanya upaya menekan produksi gas rumah kaca, tapi sekaligus memastikan sumber penghidupan rakyat bisa diakses dengan layak dan merata tanpa diskriminasi,” tegas Adam. 
 
Baca Juga: 

Mangrove Indonesia Berpotensi Jadi Garda Terdepan Mitigasi Iklim


Dalam upaya mencapai keadilan lingkungan, menurut dia, pemerintah harus mencapai empat prinsip yaitu keadilan distributif, korektif, prosedural, dan sosial. Keadilan distributif berkaitan dengan distribusi manfaat dan beban lingkungan yang adil di antara semua orang, tanpa memandang ras, kelas, atau faktor demografis lainnya. Ini harus memastikan semua orang memiliki akses yang sama ke sumber daya lingkungan yang bersih dan sehat serta tidak terkena dampak negatif lingkungan yang tidak proporsional.

Keadilan korektif berkaitan dengan perbaikan atas kerusakan lingkungan yang telah terjadi dan memastikan mereka yang bertanggung jawab atas kerusakan tersebut dimintai pertanggungjawaban. Menginginkan agar mereka yang menyebabkan kerugian bertanggung jawab memperbaiki kerugian yang terjadi.

“Keadilan prosedural adalah proses pengambilan keputusan yang adil dan transparan dalam kebijakan lingkungan. Ini melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan keputusan, akses informasi yang adil dan akuntabilitas dalam tindakan lingkungan,” ujar Adam. 

Sementara itu, keadilan sosial merujuk pada isu lingkungan dan isu sosial yang lebih luas, seperti kemiskinan, ketidaksetaraan, dan diskriminasi. "Keadilan sosial dalam konteks lingkungan menekankan perlunya mengatasi akar penyebab ketidakadilan lingkungan yang seringkali terkait dengan faktor-faktor sosial,” kata Adam.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Achmad Zulfikar Fazli)