Dr Arunabha Ghosh, CEO Council on Energy, Environment, and Water, saat berbicara di Global Town Hall pada Sabtu, 15 November 2025. (YouTube / FPCI)
Willy Haryono • 15 November 2025 19:45
Jakarta: Krisis iklim bukan lagi bersifat prediksi masa depan, tetapi sudah menjadi “realitas hidup” bagi banyak negara, ucap Dr Arunabha Ghosh, CEO Council on Energy, Environment, and Water (CEEW) sekaligus Special Envoy COP30 Presidency untuk Asia Selatan di acara Global Town Hall 2025, Sabtu, 15 November 2025.
Berbicara secara virtual dalam sesi “Winning Humanity’s Greatest Battle: Building a Strategic North–South–East–West Grand Alliance for the Climate Future We Need,” Arunabha mengingatkan bahwa dunia telah berubah drastis sejak 2015, baik secara meteorologis, politik, maupun sosial, dan perubahan ini semakin memperumit upaya menjaga kepercayaan global dalam penanganan iklim.
Arunabha menilai bahwa kepercayaan hanya dapat dipulihkan melalui “aksi dan implementasi,” bukan sekadar komitmen. Ia mencontohkan perbedaan situasi antara COP21 pada 2015 dan COP30 bulan ini, dari banjir besar Chennai hingga badai dahsyat yang menghantam kawasan Karibia menjelang konferensi.
“Krisis iklim adalah realitas yang dijalani sekarang. Itu datang jauh lebih cepat dari yang diperkirakan,” ujarnya, dalam acara yang digelar oleh FPCI dan Global Citizen ini.
Secara politik, Arunabha mencatat perubahan besar, termasuk keluarnya salah satu negara pengemisi terbesar dari Perjanjian Paris, namun juga kemajuan signifikan dari banyak negara berkembang.
India, kata Arunabha, telah melonjak dari kurang dari 2 gigawatt tenaga surya pada 2015 menjadi lebih dari 120 gigawatt hari ini, serta memiliki 250 gigawatt kapasitas listrik non-fosil, menjadikannya salah satu pasar energi terbarukan terbesar di dunia. Perubahan serupa, menurutnya, juga terjadi di Asia Tenggara, Afrika Sub-Sahara, hingga Amerika Selatan.
Namun, tantangan terbesar kini bersifat sosial. Krisis iklim memperburuk ketimpangan, memicu rasa ketidakberdayaan, sekaligus mendorong komunitas untuk bergerak sendiri. Tugas utama, menurut Arunabha, adalah membangun respons yang adil sekaligus memperkuat kapasitas lokal menghadapi dampak overshoot suhu global.
Ia menawarkan tiga fokus utama. Pertama, negara berkembang perlu bersiap menghadapi skenario overshoot dan memetakan dampaknya secara hiper-lokal, mulai dari kota, provinsi, hingga lingkungan.
Kedua, percepatan transisi energi harus dilihat bukan hanya sebagai isu pendanaan, tetapi juga persoalan desain kebijakan, kelembagaan, pasar, dan tata kelola.
Ketiga, komunitas perlu diposisikan sebagai subjek dalam pengambilan keputusan, bukan sebagai objek dari niat baik. “Kita harus menciptakan kondisi agar masyarakat menjadi enabler dari masa depan mereka sendiri,” tegasnya.
Baca juga: COP30 Tandai Perjalanan Dunia Hadapi Krisis Iklim