JP Morgan Prediksi Ekonomi AS Menuju Stagflasi

USA. Foto: Unsplash.

JP Morgan Prediksi Ekonomi AS Menuju Stagflasi

Arif Wicaksono • 22 February 2024 19:21

New York: Perekonomian Amerika Serikat (AS) berisiko menuju stagflasi, atau periode yang ditandai dengan pertumbuhan rendah dan inflasi tinggi yang terus-menerus. JP Morgan mencatat AS sedang menuju ke arah stagflasi pada 1970-an. Kekhawatiran terhadap stagflasi telah meningkat, berbeda dengan banyak perkiraan optimis sebelumnya yang mengantisipasi penurunan inflasi dan pertumbuhan yang kuat.
 

baca juga: 

Inflasi AS Melambat, Tak Sesuai yang Diharapkan


Melansir Business Insider, Kamis, 22 Februari 2024, JPMorgan mengutip ketegangan geopolitik sebagai alasan potensi stagflasi. JP Morgan mencatat konflik 1970-an di Vietnam dan Timur Tengah menyebabkan krisis energi, gangguan pengiriman, dan lonjakan belanja defisit.

Pada saat ini kekacauan di Laut Merah yang dipicu oleh konflik Israel-Hamas, invasi Rusia ke Ukraina, dan ketegangan AS dengan Tiongkok akan mendorong stagflasi. Ditambah dengan lingkungan geopolitik yang tidak menentu dengan suku bunga yang tinggi.

"Jika kita menambahkan volatilitas yang dapat berasal dari ketidakpastian politik, geopolitik, dan peraturan, maka pasar publik akan semakin dirugikan dibandingkan pasar swasta yang dapat menghindari pusat perhatian dari volatilitas harian," tambah catatan JP Morgan.

CEO JPMorgan Chase Jamie Dimon menyebutkan 2024 bisa menyerupai 1970-an, dengan mengatakan defisit fiskal yang signifikan, perubahan pola perdagangan, dan dedikasi terhadap pengeluaran pemerintah akan mendukung inflasi.

Kerapuhan ekonomi AS

Sementara itu, menurut investor legendaris Paul Tudor Jones kekuatan ekonomi AS yang menakjubkan, dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) untuk kuartal pertama tahun ini diperkirakan mencapai sekitar 4,2 persen, menurut pelacak GDPNow Fed Atlanta sangat rapuh. Capaian ini karena kecepatan pinjaman dan belanja pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi AS yang menakjubkan dalam beberapa kuartal terakhir.

"Kita mengalami defisit anggaran sebesar tujuh persen. Konsumsi kita melonjak dengan cepat. Seharusnya hal ini menjadi sangat buruk karena perekonomian kita bergantung pada steroid, dan hal ini tidak berkelanjutan," jelas Paul, dilansir Business Insider, Rabu, 7 Februari 2024.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Arif Wicaksono)