Dewan Redaksi Media Group Ade Alawi. Foto: MI/Ebet.
Podium Media Indonesia: Tunas Terempas
Media Indonesia • 30 December 2025 06:04
SUARANYA bergetar nyaris hilang ditelan hujan deras pada senja pekan silam. Nadanya getir mewakili dilema anak muda Indonesia yang menjadi penyokong bonus demografi.
Dalam suatu obrolan santai di beranda rumahnya nan asri, anak muda berusia 28 tahun ini, sebut saja namanya Kamal, ialah sarjana akuntansi dari PTN di wilayah Jakarta Selatan. Ia mengisahkan pengalaman hidupnya mengapa memilih kerja di Sydney, New South Wales, Australia, ketimbang di Tanah Air.
Anak muda yang punya hobi fotografi itu sudah menjalani dua pekerjaan di 'Negeri Kanguru' dalam rentang waktu dua tahun sebagai buruh kasar (casual worker) dengan modal working holiday visa dari pemerintah Australia.
Ia beberapa kali sempat berpindah pekerjaan, dari perusahaan pemotongan kambing/domba hingga perusahaan pengepul gandum.
Ia menerima gaji per minggu setiap Rabu sekitar A$1.100-A$1.200, atau jika dirupiahkan sekitar Rp12 juta-Rp13 juta. "Kerjanya memang berat, tetapi menyenangkan karena setelah dihitung dengan pengeluaran Rp5 juta per minggu, masih banyak sisanya," ujarnya, tersenyum.
Alhasil, dalam sebulan ia berhasil mengantongi penghasilan sebanyak Rp48 juta. Berbeda jauh dengan gajinya saat menjadi akuntan di sebuah perusahaan swasta di Bogor, Jawa Barat, selepas lulus kuliah dengan gaji sebesar Rp4,7 juta per bulan.
Awal ketertarikannya bekerja di Australia ialah informasi dari rekan-rekannya yang sama-sama mondok di salah satu pesantren ternama di Cirebon, Jawa Barat, selanjutnya mencari informasi ke berbagai sumber. "Saya tidak sembarang pergi bekerja meninggalkan Tanah Air. Saya mencari informasi yang akurat terlebih dahulu," tuturnya.
Dari hasil bekerjanya ia merasa bersyukur bisa menabung, membeli mobil dan sepeda motor bekas, dan mengumrahkan kedua orangtua tercintanya. "Insya Allah, saya juga akan umrah pada awal Ramadan tahun depan," ujarnya.
Ia merasa mencari pekerjaan di Australia sangat mudah. "Sebagai buruh kasar tak perlu persyaratan akademis dan usia. Selama mampu bekerja, go a head. Bahkan di tempat saya bekerja ada orang Indonesia yang berusia 60 tahun,' ungkapnya.
Menurutnya, yang membuat nyaman tidak hanya gajinya yang besar, tetapi juga lingkungan di kotanya di 'Benua Hijau' itu yang tertib hukum, toleran, dan berkesetaraan. "Taman kotanya juga enak buat rehat," katanya.
Mayoritas di tempatnya bekerja, lanjutnya, ialah warga negara Indonesia. "Sebagian besar anak muda seperti saya. Mereka memilih bekerja di Australia karena sulitnya mencari pekerjaan di Indonesia. Berat, memang, meninggalkan orangtua, tetapi apa boleh buat," katanya, berkaca-kaca.
Kini, ia tengah berada di Tanah Air untuk istirahat sejenak, liburan akhir tahun, dan setelah Lebaran tahun depan pria lajang itu akan kembali ke Australia.
Walakin, apabila disuruh memilih, ia menegaskan ingin bekerja di Indonesia sesuai dengan disiplin ilmunya, accounting. "Tapi cari kerja di negeri sendiri sulit. Kalaupun dapat, gajinya kecil," ujarnya, masygul.
Ia mengharapkan pemerintahan Prabowo yang banyak didukung kaumnya pada Pilpres 2024 memikirkan nasib anak muda. Terlebih wakilnya, Gibran Rakabuming Raka, dianggap sebagai respresentasi kaum muda yang pernah menjanjikan 19 juta lapangan pekerjaan.
Aspirasi Kamal sami mawon dengan aspirasi anak muda Indonesia. Mereka kini kebingungan dengan masa depan mereka. Padahal, masa depan bangsa berada di tangan mereka dengan keberlimpahan usia produktif (15-64 tahun) atau yang dikenal dengan bonus demografi pada 2030-2040 sebanyak 64% jika dibandingkan dengan usia nonproduktif.
Dewan Redaksi Media Group Ade Alawi. Foto: MI/Ebet.Pemerintah telah mencanangkan Indonesia emas 2045 saat Indonesia memasuki usia 100 tahun, atau satu abad kemerdekaan Indonesia. Visi Indonesia emas 2045 ialah Indonesia negara maju, sejahtera, berdaulat, dan berkelanjutan.
Namun, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Alih-alih berjaya anak muda di negerinya, selain mereka banyak menganggur, mereka juga banyak yang terjerat oleh pinjaman online (pinjol) dan judi online (judol).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 5 Mei 2025 menunjukkan gen Z (15-24 tahun) dan sebagian milenial (25-34 tahun) menjadi golongan dengan tingkat pengangguran tertinggi di Indonesia. Angka pengangguran kalangan gen Z yang mencapai 16% menjadi salah satu tertinggi di Asia,
Laporan Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas Pasti) mencatat total laporan terkait dengan pinjol ilegal mencapai 18.633 laporan sejak 1 Januari 2025 hingga 30 November 2025.
Dari total laporan itu, kalangan usia 26 tahun sampai 35 tahun paling banyak terjerat oleh pinjol ilegal. Selanjutnya, pelapor dengan usia 16 tahun sampai 25 tahun sebanyak 6.533 laporan atau 35% dari total laporan terkait dengan pinjol ilegal.
Menurut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), perputaran dana dari judol diperkirakan bisa mencapai Rp1.200 triliun sampai akhir 2025.
Mirisnya bocil-bocil juga sudah keranjingan judol. Data kuartal pertama 2025 menunjukkan jumlah deposit yang dilakukan pemain berusia 10-16 tahun lebih dari Rp2,2 miliar. Usia 17-19 tahun mencapai Rp47,9 miliar dan deposit yang tertinggi usia 31-40 tahun mencapai Rp2,5 triliun.
Pemerintahan Prabowo harus bersungguh-sungguh menyelamatkan anak muda agar mereka bisa produktif, bekerja dan berkarya. Mereka tunas muda bangsa jangan terempas di negeri mereka, lalu mencari pekerjaan di negeri orang.
Dalam kabinet Prabowo yang tambun baik menteri maupun pejabat setingkat menteri terdapat kaum milenial. Mereka harus menunjukkan jurus mereka untuk mengeluarkan anak muda dari gorong-gorong kemiskinan dan ketidakberdayaan harapan bangsa ini untuk menyambung hidup di Republik ini.
Ibarat pohon, tunas bangsa harus tumbuh dengan sehat, rindang, dan berakar kuat di bumi. Mereka harus menjadi tunas yang berkualitas, mampu berkompetisi secara fair tanpa 'ordal' alias orang dalam melalui karpet merah lapangan kerja yang disiapkan pemerintah.
Menurut Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) bukankah tidak ada yang lebih suci bagi seorang pemuda daripada membela kepentingan bangsanya? Tabik!
(Dewan Redaksi Media Group Ade Alawi)