Ilustrasi kayu-kayu gelondongan dalam jumlah besar ikut menjadi bagian dari sapuan air bah yang mematikan. Dok. MI
Media Indonesia • 2 December 2025 07:12
BENCANA banjir bandang dan tanah longsor di Sumatra menghentak dengan jumlah korban tewas dan hilang menembus 800 jiwa. Wilayah yang terdampak parah begitu masif, meliputi tiga provinsi, yaitu Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, yang mencakup setengah Pulau Sumatra.
Yang turut membuat kita terperangah, kayu-kayu gelondongan dalam jumlah besar ikut menjadi bagian dari sapuan air bah yang mematikan. Kementerian Kehutanan buru-buru mengungkapkan kayu-kayu tersebut merupakan pohon yang lapuk atau tumbang alami. Pun, disebut sumbernya bisa berasal dari aktivitas legal maupun ilegal.
Pernyataan itu terkesan ingin mengecilkan kemungkinan sebagian besar kayu gelondongan yang terseret banjir bandang merupakan hasil pembalakan hutan. Soal ilegal atau bukan, di negeri ini yang namanya kegiatan ilegal pun bisa dilegal-legalkan. Tinggal keluarkan izin, penebangan ilegal atau yang merusak lingkungan bisa dengan mudah disulap menjadi legal.
Lebih parah lagi ketika alih fungsi hutan mendapatkan payung hukum perundang-undangan yang mengatasnamakan pembangunan. Aktivis lingkungan menyoal Pasal 38 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2024 tentang Kehutanan yang membuka ruang pemanfaatan kawasan hutan lindung, bahkan untuk kegiatan penambangan.
Itu diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang memberikan ruang kegiatan yang disebut perhutanan sosial. Pada Pasal 29A ayat (1) dan (2) disebut pemanfaatan hutan lindung dan hutan produksi dapat dilakukan dengan kegiatan perhutanan sosial oleh perseorangan, kelompok tani hutan, dan koperasi.
Berbeda dengan analisis pandangan mata Kemenhut, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatra Barat membeberkan hasil analisis citra satelit Maxar periode Juni 2021-Juli 2025. Potret yang diambil oleh satelit tersebut menunjukkan aktivitas aktif penebangan di wilayah yang bersinggungan dengan kawasan suaka margasatwa, hutan lindung, dan kawasan konservasi.
Wilayah yang ditebangi mencapai ratusan hektare. Meski bolak-balik bencana banjir dan tanah longsor menerjang, menurut analisis Walhi, aktivitas penebangan hutan itu masih terus aktif hingga pencitraan terbaru satelit pada Juli 2025. Periode citra satelit yang menjadi rujukan Walhi kebetulan sekali diambil seiring dengan berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja.
Baca Juga:
JK Sebut Gelondongan Kayu di Banjir Sumatra dari Pembalakan dan Pohon Tumbang |