Simpatisan PKI. (via Undip.ac.id)
Riza Aslam Khaeron • 1 October 2025 19:27
Jakarta: Setiap tanggal 1 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila sebagai bentuk penghormatan terhadap ideologi negara yang berhasil dipertahankan dari ancaman komunisme. Hari ini dikenang dalam konteks tragedi Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI) yang mengguncang fondasi militer dan politik nasional.
Salah satu pertanyaan yang terus muncul dalam diskursus sejarah adalah dugaan keterlibatan Republik Rakyat Tiongkok dalam peristiwa berdarah tersebut.
Berdasarkan Taomo Zhou, ahli studi Tionghoa dari Universitas Nasional Singapura dalam jurnal berjudul China and the Thirtieth of September Movement tahun 2014 yang menggunakan arsip-arsip pemerintah Tiongkok sebagai bahan penelitian, rezim Mao Zedong tampak memiliki hubungan dengan PKI selama masa orde lama.
Namun, apakah benar Tiongkok memiliki hubungan dengan G30S PKI? Jika benar, seberapa besar? Berikut penjelasan lebih jauh.
Aidit Memberitahu Rezim Mao Tentang Dewan Revolusi Nasional
Arsip yang dihimpun Taomo Zhou menunjukkan bahwa pada tahun 1964–1965, Beijing mulai menjangkau Jakarta secara intensif melalui dukungan terhadap pembentukan Angkatan Kelima, tawaran bantuan teknologi nuklir, serta layanan medis untuk Presiden Sukarno.
Para pemimpin Republik Rakyat
Tiongkok (RRT) diketahui memahami adanya rencana PKI untuk "mencegah jenderal anti-komunis merebut kekuasaan." Namun, mereka tetap menjaga jarak dan tidak terlibat langsung dalam perencanaan Gerakan 30 September (G30S).
Pada pertengahan 1963, Perdana Menteri Zhou Enlai menilai situasi Indonesia sangat tegang dan berada dalam fase transisi kekuasaan.
Ia menyebut Jenderal A.H. Nasution—yang kala itu dituduh didukung oleh Amerika Serikat dan Taiwan—sedang merancang langkah-langkah untuk menggulingkan Sukarno.
Zhou menggambarkan kondisi ini sebagai "pertarungan hidup dan mati" yang ujungnya sangat ditentukan oleh kekuatan serta langkah-langkah strategis PKI.
Dalam pertemuan pada 5 Agustus 1965 di Beijing, antara beberapa petinggi PKI seperti D.N. Aidit dan tokoh tinggi
Tiongkok seperti Mao Zedong serta Zhou Enlai, dibahas kondisi Indonesia secara menyeluruh.
Topik yang dibicarakan mencakup kesehatan Sukarno, ketegangan antara Angkatan Darat dan PKI, serta kemungkinan konflik terbuka dengan sayap kanan, khususnya Angkatan Dara di masa depan.
Aidit memaparkan dua skenario: kemungkinan serangan terbuka oleh kelompok sayap kanan, atau terbentuknya pemerintahan Nasakom tanpa kehadiran Sukarno yang akan merugikan posisi PKI. Ia kemudian mengusulkan pembentukan "komite militer" sebagai langkah antisipatif terhadap manuver sayap kanan.
"Kami merencanakan pembentukan sebuah komite militer. Mayoritas anggota komite tersebut akan berasal dari sayap kiri, namun tetap mencakup beberapa unsur tengah. Dengan cara ini, kami bisa membingungkan musuh-musuh kami. Mereka akan ragu terhadap sifat sebenarnya dari komite ini, sehingga para komandan militer yang bersimpati pada sayap kanan tidak akan langsung menentang kami," ujar Aidit dalam pertemuan tersebut.
Komite militer yang dimaksud kemungkinan besar merujuk pada Dewan Revolusi Indonesia yang kelak diumumkan melalui siaran Radio RRI saat peristiwa G30S berlangsung.
Aidit juga menyebut bahwa komite ini akan dipimpin oleh sosok "anggota tersembunyi" yang "tampak netral"—sosok yang kemungkinan merujuk pada Letnan Kolonel Untung Syamsuri, tokoh utama dalam G30S.
Percakapan ini menunjukkan bahwa pihak Beijing memiliki informasi terkait rencana tersebut dan tidak menyampaikan keberatan secara eksplisit, meskipun sikap mereka secara umum tetap ambigu.
Namun, Taomou Zhou menyatakan Beijing kemungkinan tidak mengetahui waktu pelaksanaan pasti G30S dan kemungkinan terkejut dengan seberapa cepat PKI memutuskan untuk melaksanakan operasinya. Menurut Taomo Zhou, peran Tiongkok dalam G30 S PKI "tidak signifikan"
Menjelang normalisasi hubungan diplomatik Indonesia–Tiongkok pada tahun 1989–1990, diplomat senior
Tiongkok, Qian Qichen, menyatakan bahwa negaranya tidak memiliki hubungan langsung dengan PKI dan sejak saat itu telah melarang segala bentuk aktivitas politik oleh warga negara Indonesia di wilayah Tiongkok.