Simpatisan PKI. (via Undip.ac.id)
Riza Aslam Khaeron • 30 September 2025 18:23
Jakarta: Peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S PKI) menjadi momen krusial dalam sejarah Indonesia yang turut menyeret keterlibatan asing, termasuk Amerika Serikat.
Melalui dokumen-dokumen resmi dari Amerika Serikat, terungkap bahwa sejumlah tokoh Indonesia berinteraksi langsung maupun tidak langsung dengan pihak Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta selama masa transisi kekuasaan dan pemberantasan PKI.
Berikut daftar tokoh-tokoh yang terlibat:
Jenderal A.H. Nasution disebut secara eksplisit dalam dokumen Kedutaan Besar AS di Jakarta tertanggal 14 Oktober 1965, dalam telegram berjudul "155. Telegram From the Embassy in Indonesia to the Department of State".
Dalam dokumen tersebut, pihak AS menyatakan bahwa mereka "didekati oleh perwira penghubung Jenderal Nasution" untuk bantuan berupa perangkat komunikasi portabel bagi pengamanan Jenderal Nasution dan keluarga para perwira Angkatan Darat.
Menanggapi permintaan ini, Duta Besar Green menyetujui pemberian tiga perangkat Motorola P-31 handie-talkies dengan baterai dan charger:
"...telah, dengan persetujuan saya, menawarkan tiga unit Motorola P–31 handie-talkies frekuensi 49.9545 beserta baterai dan charger. Atase Militer akan menyerahkan bantuan ini secara diam-diam kepada pihak Angkatan Darat Indonesia pada 14 Oktober." (Djakarta, 14 Oktober 1965)
Penyediaan bantuan ini dilakukan secara hati-hati dan diam-diam, dengan pertimbangan bahwa gestur kecil seperti ini dapat membantu mempertahankan kepemimpinan Angkatan Darat dari potensi ancaman pembunuhan.
Lebih lanjut, dokumen "168. Memorandum From the Assistant for Indonesia (Nuechterlein) to the Deputy Assistant Secretary of Defense" tertanggal 4 November 1965, juga menyebut peran Jenderal Nasution melalui utusannya, Jenderal Sukendro.
Dalam pertemuan kelompok kerja Indonesia di Washington, permintaan bantuan dari Nasution—termasuk untuk obat-obatan, perlengkapan komunikasi taktis, beras, dan kemungkinan senjata ringan—dibahas secara intensif:
"Topik utama dalam diskusi adalah permintaan Jenderal Sukendro, yang tampaknya adalah utusan Jenderal Nasution... untuk obat-obatan, perangkat komunikasi taktis, beras, dan kemungkinan senjata ringan..." (Washington, 4 November 1965)
Permintaan ini kemudian ditindaklanjuti oleh Departemen Luar Negeri AS melalui telegram bernomor 170 pada hari yang sama.
Dengan dua permintaan bantuan tersebut—baik melalui perantara maupun langsung—dapat disimpulkan bahwa Nasution adalah salah satu tokoh kunci yang menjalin kerja sama tak langsung namun aktif dengan AS dalam masa krisis G30S PKI.
Baca Juga: #OnThis Day 30 September: Meletusnya Tragedi Pemberontakan G30S PKI |
Nama Adam Malik secara eksplisit disebut dalam telegram rahasia Kedutaan Besar AS di Jakarta tertanggal 2 Desember 1965, dengan judul “179. Telegram From the Embassy in Indonesia to the Department of State”.
Dalam telegram tersebut, Duta Besar Green mengonfirmasi bahwa ia menyetujui permintaan Adam Malik untuk menyalurkan bantuan dana sebesar Rp50 juta guna mendukung kegiatan Kap-Gestapu, sebuah kelompok aksi yang secara de facto melaksanakan operasi anti-PKI di lapangan:
"Ini untuk mengonfirmasi persetujuan saya sebelumnya agar kami memberikan kepada Malik dana sebesar lima puluh juta rupiah, sesuai permintaannya, untuk mendukung kegiatan gerakan Kap-Gestapu." (Djakarta, 2 Desember 1965)
Meskipun ditegaskan bahwa Malik bukan pimpinan Kap-Gestapu, dokumen tersebut menyebutnya sebagai salah satu promotor sipil utama yang secara aktif mendukung gerakan tersebut, dan posisinya dianggap sangat selaras dan terkoordinasi dengan militer:
"Tidak diragukan sama sekali bahwa aktivitas Kap-Gestapu sepenuhnya sejalan dan terkoordinasi dengan pihak militer." (ibid.)
Tujuan pemberian dana tersebut tidak hanya mendukung operasional Kap-Gestapu, tetapi juga dimaksudkan untuk memperkuat posisi Malik di internal gerakan. Dalam penilaian pihak AS, kontribusi ini dipandang sebagai bentuk penguatan peran Malik di tengah struktur kekuasaan militer yang sedang menggencarkan represi terhadap PKI, khususnya di Jawa Tengah:
"Saya memandang kontribusi ini sebagai sarana untuk memperkuat posisi Malik dalam gerakan tersebut... jumlah kecil yang diusulkan ini akan sangat membantu."
Nama Jenderal Suharto secara eksplisit disebut dalam Telegram From the Embassy in Indonesia to the Department of State dari Djakarta, 14 Oktober 1965, yang dikirim dari Kedutaan Besar AS di Jakarta kepada Departemen Luar Negeri. Dalam dokumen ini disebutkan bahwa sebuah laporan Associated Press mengutip "sumber terpercaya" yang menyatakan bahwa:
"Suharto telah mengirim seorang kolonel ke Amerika Serikat untuk memperoleh perangkat komunikasi guna menanggulangi ancaman komunis terhadap perang saudara di Indonesia." (Djakarta, 13 Oktober 1965)
Lebih lanjut, keterlibatan Suharto juga ditegaskan dalam “232. Memorandum From Secretary of Defense McNamara to President Johnson” tertanggal 1 Maret 1967. Dalam dokumen ini, Menteri Pertahanan AS Robert S. McNamara menulis:
"Perubahan ini dimulai pada 1 Oktober 1965, ketika Angkatan Darat Indonesia, yang dipimpin oleh Jenderal Suharto, menggagalkan kudeta yang diinspirasi oleh komunis dan kemudian melanjutkan pemusnahan terhadap tiga juta anggota Partai Komunis Indonesia (PKI)..." (Washington, 1 Maret 1967)
McNamara menambahkan bahwa beberapa besar elite militer Indonesia saat itu, termasuk Suharto, pernah menerima pelatihan militer di Amerika Serikat, dan alhasil, menjadi cenderung pro-AS:
"...selain tiga belas orang, seluruh anggota staf teratas yang kini memerintah Indonesia telah menerima pelatihan di Amerika Serikat melalui Program Bantuan Militer."
Jenderal Sukendro, sebagai utusan informal Jenderal Nasution, memainkan peran penting dalam komunikasi langsung dengan AS. Dalam “168. Memorandum From the Assistant for Indonesia (Nuechterlein) to the Deputy Assistant Secretary of Defense”, Sukendro disebut sebagai penghubung utama untuk permintaan bantuan medis, logistik, komunikasi, dan persenjataan:
"...permintaan dari Jenderal Sukendro, yang tampaknya adalah utusan Jenderal Nasution, untuk obat-obatan, perangkat komunikasi taktis, beras, dan kemungkinan senjata ringan…" (Washington, 4 November 1965)
Selain itu, telegram “170. Telegram From the Department of State to the Embassy in Thailand” pada hari yang sama mengonfirmasi bahwa AS menerima permintaan resmi dari Sukendro, dan bahkan membahas rincian daftar belanja yang ia ajukan, termasuk hambatan pengadaan, pengiriman, dan koordinasi:
"Kami bersedia menindaklanjuti permintaannya untuk bantuan medis... kami ingin terus berhubungan dengan Sukendro atau seseorang yang ia tunjuk untuk klarifikasi." (Washington, 4 November 1965)
Sukendro juga dianggap oleh pihak AS sebagai juru bicara resmi antara faksi militer Nasution-Suharto dan AS:
"Green menyatakan bahwa ia 'sepenuhnya yakin terhadap kredensial Jenderal Sukendro sebagai juru bicara untuk Nasution–Suharto dalam hal bantuan.'" (ibid.)
Dengan peran diplomatik dan teknis tersebut, Sukendro menjadi figur penting dalam menghubungkan kebutuhan operasional Angkatan Darat dengan dukungan langsung dari pemerintah AS.