Hamas, kelompok pejuang Palestina yang menguasai Jalur Gaza. (Anadolu Agency)
Willy Haryono • 6 October 2025 14:27
Gaza: Dua tahun setelah pecahnya perang di Gaza dan serangkaian pembunuhan terhadap sebagian besar pemimpinnya, kelompok pejuang Palestina Hamas kini berada dalam posisi bertahan hidup di tengah gempuran serangan Israel.
Beberapa sumber yang memiliki akses langsung ke pimpinan kelompok itu menyebut Hamas tengah berada dalam kekacauan, dengan rantai komando militer yang nyaris lumpuh.
Komunikasi antara pemimpin Hamas di Gaza, para pejuang di terowongan, dan negosiator di luar negeri disebut jarang dan sulit dilakukan.
“Hamas berada dalam kondisi terlemah sepanjang sejarahnya,” ujar salah satu sumber, dikutip dari The National, Minggu, 5 Oktober 2025.
Kelompok militan itu juga kehilangan dukungan luas dari sekitar dua juta warga Gaza akibat krisis kemanusiaan yang semakin memburuk. Ratusan ribu orang dilaporkan mengalami kelaparan, dan banyak yang meninggal karena kekurangan pangan.
Meski begitu, Hamas menolak menyerahkan senjatanya sebagaimana diusulkan dalam rencana perdamaian 20 poin yang digagas Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Namun, sikap mereka yang “menyambut dengan catatan” menandakan adanya kemungkinan perubahan arah.
Dalam tanggapannya, Hamas menuntut kejelasan soal penarikan pasukan Israel, pembentukan pemerintahan pascaperang, serta peran pasukan internasional di wilayah Gaza. Beberapa mantan pejabat Israel menilai peluang perlucutan senjata Hamas tetap terbuka, selama dilakukan secara sukarela.
“Hamas tidak ingin rencana itu dianggap sebagai pelucutan paksa, tetapi sebagai langkah menyerahkan senjata demi kepentingan nasional,” ujar Nimrod Novik, mantan penasihat Perdana Menteri Shimon Peres.
Tekanan internasional terhadap Hamas meningkat setelah sejumlah negara Arab—termasuk Mesir, Turki, dan Qatar—menyambut rencana Trump dengan hati-hati dan menilai proposal tersebut bisa menjadi peta jalan menuju stabilitas. Ketiga negara itu juga menegaskan bahwa Hamas tidak akan memiliki peran dalam pemerintahan Gaza pascaperang.
Di sisi lain, Hamas dikabarkan bersedia berubah menjadi partai politik tanpa keterlibatan langsung dalam pemerintahan atau rekonstruksi Gaza. Beberapa pemimpinnya disebut siap meninggalkan wilayah tersebut dan hidup di pengasingan, asalkan tidak menjadi target serangan Israel.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan sebelum perang, ketika Hamas masih menjadi bagian kuat dari poros militan pro-Iran bersama Hizbullah di Lebanon dan kelompok bersenjata di Irak, Suriah, serta Yaman. Meski demikian, laporan intelijen menyebut Hamas masih terus merekrut anggota baru selama perang berlangsung.
Kini, kekuatan tempur Hamas jauh melemah. Serangan terhadap pasukan Israel semakin jarang dan sebagian besar bersifat simbolis. Sumber di Gaza menyebut kelompok kecil beranggotakan tiga hingga empat pejuang muda beroperasi secara independen, bahkan siap melakukan misi bunuh diri. Hubungan antar-sel hampir tidak ada, dan komunikasi dengan pimpinan luar negeri terhambat karena kekhawatiran penyadapan oleh Israel.
Sejak pembunuhan pemimpin politik Hamas, Ismail Haniyeh, di Teheran, serta serangan udara terhadap markas mereka di Doha, para pemimpin Hamas kini berhenti menggunakan ponsel dan alat elektronik, menggantinya dengan pesan tulisan tangan yang dikirim melalui kurir demi menjaga keamanan komunikasi. (Keysa Qanita)
Baca juga: Hamas Bertahan di Tengah Gempuran Israel, Dua Tahun usai Serangan 7 Oktober