Indonesia Harus Bertarung saat Negosiasi Tarif Trump

Ilustrasi. Foto: Medcom.id.

Indonesia Harus Bertarung saat Negosiasi Tarif Trump

Ade Hapsari Lestarini • 14 July 2025 18:12

Jakarta: Pemerintah Indonesia dinilai memiliki sejumlah opsi strategis dalam negosiasi kebijakan perdagangan dari Presiden Amerika Serikat Donald J. Trump. Setidaknya terdapat tiga kekuatan yang dapat dijadikan alat dalam negosiasi, utamanya terkait sektor mineral dan hubungan geopolitik kawasan.

"Ada beberapa daya tawar yang bisa dilakukan Indonesia dalam negosiasi dengan Trump. Yang pertama adalah soal perpanjangan IUPK Freeport tahun ini. Dan juga relaksasi ekspor konsentrat yang selama ini diberikan oleh pemerintah Indonesia kepada Freeport," ujar Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira saat dihubungi, Senin, 14 Juli 2025.

Menurut dia, Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan kebijakan ekspor tembaga konsentrat merupakan kepentingan vital bagi Freeport-McMoRan, perusahaan asal Amerika yang beroperasi di Papua. Oleh karena itu, evaluasi terhadap perizinan tersebut bisa digunakan sebagai alat tekan.

"Itu bisa dijadikan daya tawar. Jadi kalau ada moratorium atau evaluasi terhadap perizinan IUPK Freeport, maka itu bisa membuat kepentingan Amerika Serikat untuk mendapatkan keuntungan dari hilirisasi mineral di Indonesia tertunda," jelas Bhima.

Selain itu, dia menekankan pelarangan ekspor tembaga konsentrat juga berpotensi memberikan kerugian besar bagi Freeport. "Begitu juga soal relaksasi ekspor konsentrat, ekspor tembaga. Itu begitu dilakukan moratorium atau pelarangan izin ekspor tembaga konsentrat, maka Freeport bisa lebih banyak dirugikan sebenarnya," lanjut Bhima.


 

Baca juga: Airlangga Bantah Indonesia Kena Tarif Tambahan 10%
 

Momentum bagi Indonesia untuk membuka ruang negosiasi yang lebih kuat


Pada poin tersebut, imbuhnya, merupakan momentum bagi Indonesia untuk membuka ruang negosiasi yang lebih kuat. Bhima juga menyoroti aspek geopolitik sebagai senjata negosiasi yang tak kalah penting. 

Ia menilai pendekatan Indonesia ke Tiongkok bisa dijadikan sinyal kuat kepada Amerika. "Indonesia akan semakin dekat dengan Tiongkok, tidak hanya melalui BRICS tapi juga kerja sama di Laut China Selatan," kata dia.

Kedekatan tersebut, tambah Bhima, akan menjadi konsekuensi logis dari kebijakan tarif tinggi yang diberlakukan Amerika terhadap Indonesia. Jika Indonesia dikenai tarif hingga 32 persen ditambah 10 persen dari statusnya sebagai anggota BRICS, maka hal itu berisiko merenggangkan hubungan bilateral kedua negara.

"Itu tentunya bisa membuat Amerika berpikir ulang, karena semakin dia memusuhi Indonesia dengan tarif 32 persen plus 10 persen BRICS, maka ini akan berdampak signifikan terhadap hubungan Indonesia dengan Amerika yang membuat Tiongkok semakin dekat ke Indonesia," kata Bhima.

Selain itu, Bhima mendorong pemerintah untuk menyiapkan respons retaliasi bersama negara-negara ASEAN. Dengan kekuatan kolektif, menurutnya, Indonesia bisa menekan balik kebijakan yang merugikan secara ekonomi.

"Itu harusnya menjadi salah satu kekuatan Indonesia agar tarifnya tidak terlalu tinggi, karena kalau produk impor dari Amerika dikenakan tarif yang sama, yang rugi adalah Amerika," kata Bhima.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Ade Hapsari Lestarini)