Sejumlah tenda pengungsian dibangun di Jalur Gaza. (Anadolu Agency)
Willy Haryono • 27 September 2025 16:02
Gaza: Puluhan ribu keluarga yang mengungsi akibat serangan Israel di Jalur Gaza utara kini bergantung pada hal yang seharusnya sederhana: tenda sebagai tempat berlindung. Namun kebutuhan dasar ini berubah menjadi barang mewah karena kelangkaan, lonjakan harga, dan distribusi bantuan yang terganggu.
Israel melancarkan serangan darat di Kota Gaza dan memerintahkan warga Palestina meninggalkan wilayah tersebut sambil terus melakukan serangan udara. Tujuannya merebut kota dan mendorong penduduk ke selatan, di mana ketersediaan tenda dan tempat berlindung sangat terbatas. Langkah ini menuai kecaman internasional, termasuk dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Di Gaza selatan, tenda kini menjadi komoditas penting di pasar yang kacau akibat blokade, praktik spekulasi, dan kebutuhan mendesak. Kenaikan harga yang tajam membuat banyak keluarga kehilangan harapan untuk memperoleh tempat berlindung.
Khalil Sardah, 29 tahun, pemilik toko di Al Mawasi, mengatakan kekacauan bermula di perbatasan. “Setiap beberapa hari, lima atau enam truk pengangkut tenda dan terpal masuk Gaza melalui perlintasan Morag.
Namun barang-barang ini dibiarkan begitu saja untuk disita. Organisasi dicegah mendistribusikannya karena truk tidak dapat mencapai gudang dengan aman,” ujarnya kepada The National, Jumat, 26 September 2025.
Tanpa pengiriman yang aman, bantuan dialihkan ke pihak lain. “Mereka yang menguasai tenda sekarang beroperasi seperti geng terorganisir,” kata Sardah.
“Harga ditetapkan antara 600 hingga 1.200 dolar tergantung kualitas, dan hanya menerima pembayaran tunai. Mereka mengambil alih bantuan yang seharusnya diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan.”
Bahkan warga yang mencoba membangun tenda sendiri menghadapi beban biaya tinggi. Mansour Al Astal, 35 tahun, pemilik toko perlengkapan tenda dan kayu di Al Mawasi, menyebut harga terpal melonjak dari 50 shekel (sekitar 14 dolar) menjadi 500 shekel. Satu papan kayu yang dulu enam shekel kini mencapai 80 shekel.
“Untuk mendirikan tenda kecil lengkap dengan toilet, butuh biaya sedikitnya 1.000 dolar tunai. Jika dibayar secara elektronik, bisa 1.600 dolar atau lebih,” ujarnya.
Masalah lain adalah lahan. “Tanah sangat terbatas dan menyewa lahan sudah menjadi krisis tersendiri,” kata Al Astal.
Di wilayah yang menampung lebih dari satu juta pengungsi dalam kurang dari setahun, kekurangan tempat berlindung kini menjadi darurat kemanusiaan. Larangan pengiriman tenda siap pakai dan rantai pasokan yang terganggu memaksa banyak pengungsi hanya mengandalkan lembaran plastik, selimut, atau puing-puing sebagai tempat berteduh.
Mohammed Al Qassas, 42 tahun, pemilik toko kayu di Deir Al Balah yang juga mengungsi, menuturkan bahwa orang-orang datang ke tokonya setiap hari dengan harapan membeli bahan untuk menutupi diri, namun kebanyakan tidak mampu.
“Semua mahal – paku, peralatan, hingga plastik nilon. Harganya bisa sepuluh kali lipat lebih tinggi dari sebelumnya,” katanya.
Dengan angin pantai yang semakin kencang dan hujan musim dingin yang mulai turun, tenda seharga 1.000 dolar pun bisa runtuh dalam satu badai, memaksa keluarga kembali ke tempat terbuka.
Bagi banyak pengungsi, pilihan yang tersisa hanya dua: membayar harga selangit untuk bertahan di bawah atap rapuh, atau tidur di jalanan tanpa perlindungan. (Muhammad Fauzan)
Baca juga: Begini Perjuangan Warga Gaza Bertahan Hidup di Tengah Serangan Zionis Israel