M Sholahadhin Azhar • 14 March 2025 18:02
Jakarta: Revisi Undang-Undang Kejaksaan yang bergulir di DPR dikiritik. Karena, memberi perluasan kewenangan pada jaksa, yang membuat alur pengusutan perkara semakin rumit.
"Tidak akan menjadikan alur perkara menjadi efisien. Justru akan sama saja, akan terjadi bolak-balik koordinasi, biaya lebih, dan lain-lain. Tapi sebaliknya, kewenangan Kejaksaan justru akan menjadi tidak terbatas dan tidak bisa diawasi," ujar Direktur Advokasi dan Kebijakan De Jure Awan Puryadi, di Jakarta, Jumat, 14 Maret 2025.
Menurut dia, asas dominus litis terhadap jaksa, yang diperkuat melalui RUU itu tak relevan. Sebab, asas itu menuntut pemisahan fungsi penyidikan dan penuntutan.
Proses hukum, kata dia, dimulai dengan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan persidangan. Awan menyebut hal itu secara konsep terpisah satu sama lain oleh instansi tertentu, sehingga sistem menciptakan kontrol satu sama lain.
"Bila paradigmanya kejaksaan yang melakukan prosesnya dari awal hingga akhir di penuntutan, hal ini menyalahi prinsip proses hukum yang fair," kata dia.
Awan menegaskan adanya sejumlah pasal bermasalah di dalam RUU Kejaksaan. Misalnya, kewenangan penegakan hukum yang seharusnya ada di Polisi dalam proses penyidikan dan Jaksa di Penuntutan.
Dalam revisi UU Kejaksaan, kata dia, jaksa akan menjadi pengamanan kebijakan penegakan hukum (Pasal Pasal 30 ayat 3B). Kemudian, ada kewenangan baru adalah membentuk Badan pemulihan aset (Pasal 30A).
"Seharusnya kewenangan kejaksaan hanya berkutat di penuntutan, tidak lebih," tegas Awan.
Tak hanya Pasal 30A, poin keseluruhan dalam mata beleid itu disoal. Sebab, menjadikan lembaga kejaksaan sangat powerful.
"Ditambah lagi hak imunitas yang diberikan kepada jaksa menyalahi dan tidak sesuai dengan prinsip
equality before the law," tegas Awan.