Ilustrasi BPJS. Foto: Dok. MI.
M. Iqbal Al Machmudi • 24 November 2025 11:34
Jakarta: Anggota Komisi IX DPR Edy Wuryanto mengingatkan pemerintah bahwa mengubah sistem rujukan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) harus berpihak pada rumah sakit (RS) dan masyarakat. Keberhasilan skema tersebut harus diiringi dengan kesiapan fasilitas layanan kesehatan.
“Jangan hanya mengubah alur. Perbaiki alat kesehatan dan kualitas tenaga kesehatan di rumah sakit yang selama ini di tipe C dan D,” kata Edy dalam keterangannya seperti dikutip dari Media Indonesia, Senin, 24 November 2025.
Diketahui selama ini sistem rujukan pasien JKN dilakukan berjenjang. Dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), jika harus dirujuk maka di rumah sakit tipe C atau D. Rumah akit tipe A sering kali jadi tumpuan.
Kelas rumah sakit ini dibagi berdasarkan jumlah tempat tidur untuk perawatan. Kini, pemerintah berencana mengubah rujukan dari FKTP ke rumah sakit sesuai dengan kondisi medis dan kompetensinya.
Edy khawatir rujukan berbasis kompetensi hanya akan membuat pasien berdesakan di rumah sakit besar. Hal ini seperti yang selama ini telah terjadi.
Di tingkat layanan primer, Edy melihat persoalan lebih mendasar. Menurutnya, FKTP masih sering merujuk tanpa informasi memadai tentang kondisi rumah sakit tujuan.
"Banyak puskesmas tidak tahu kuota layanan rawat jalan, jadwal praktik dokter spesialis, atau ketersediaan IGD dan ICU. Akibatnya pasien tiba, tapi ditolak karena kuota sudah penuh,” ujar Edy.
Sistem seperti ini membuat masyarakat menunggu. Namun, ini membuat biaya yang dikeluarkan di luar pengobatan juga membengkak.
Edy juga menyoroti rujukan antar rumah sakit yang kerap dibebankan kepada keluarga pasien. Menurutnya, rumah sakit harus proaktif mencarikan tempat kosong, bukan melempar tanggung jawab kepada keluarga.
“Setiap RS mitra BPJS Kesehatan seharusnya punya desk pengaduan yang benar-benar bekerja membantu mencarikan RS tujuan,” ujar Edy.
Ilustrasi kantor BPJS Kesehatan. Foto: dok MI/Pius Erlangga.
Pemerintah, menurutnya, juga bisa memanfaatkan berbagai teknologi untuk memecahkan masalah ini. Sementara, pemerintah berdalih bahwa sitem baru ini dapat memotong durasi rujukan.
Namun, Edy berpendapat akar masalahnya ada pada tidak tersinkronisasinya sistem digital BPJS dengan alur internal rumah sakit. "Saya pernah dapat aduan, ada pasien dapat slot jam 10 dari aplikasi, tapi tetap menunggu panjang karena poli tidak menyesuaikan. Kalau begini, digitalisasi hanya jadi etalase,” kata Edy.
Dia menekankan bahwa esensi layanan kesehatan bagi rakyat adalah membuat pasien tidak kesulitan.
“Esensi reformasi adalah memastikan pasien tidak tersesat, tidak dipingpong, dan tidak mengeluarkan biaya yang seharusnya ditanggung negara. Itu ukuran sederhana keberpihakan,” pungkas Edy.
Sebelumnya,
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan perubahan sistem rujukan berjenjang dalam JKN menjadi rujukan berbasis kompetensi akan diberlakukan mulai tahun 2026.
"Itu (rujukan berbasis kompetensi) nanti tahun depan akan berjalan," kata Budi seperti dikutip dari Antara..
Saat ini, kata dia, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) masih menunggu peraturan presiden (perpres) terkait dengan rujukan berbasis kompetensi tersebut. "Harus ada perpresnya," kata Budi.