Tiga Daerah di Aceh Jadi Prioritas Penertiban Tambang Ilegal

Tambang ilegal di Kecamatan Geumpang, Kabupaten Pidie, Aceh. Metrotvnews.com/ Fajri Fatmawati

Tiga Daerah di Aceh Jadi Prioritas Penertiban Tambang Ilegal

Fajri Fatmawati • 25 October 2025 14:06

Banda Aceh: Pemerintah Aceh menggencarkan operasi penertiban pertambangan ilegal di seluruh wilayah. Dari delapan kabupaten yang menjadi sasaran, tiga di antaranya ditetapkan sebagai prioritas utama yaitu Kabupaten Pidie, Aceh Barat, dan Nagan Raya.

"Adapun lokasi sasaran penertiban mencakup delapan kabupaten. Namun tiga daerah pertama Kabupaten Pidie, Aceh Barat dan Nagan Raya ditetapkan sebagai prioritas utama," kata Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh, M. Nasir, Jumat, 24 Oktober 2025.
 

Baca: Ultimatum Mualem ke Tambang Ilegal Berdampak, Air Sungai di Nagan Raya Kembali Jernih
 
Selain tiga daerah prioritas, lokasi sasaran operasi juga mencakup lima kabupaten lainnya, yaitu Kabupaten Aceh Besar, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Jaya, dan Aceh Selatan.

Tidak hanya mengandalkan operasi penertiban, pemerintah juga menyiapkan langkah pembinaan sebagai solusi jangka panjang. Langkah-langkah tersebut antara lain pembentukan koperasi tambang rakyat.

"Penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan penerbitan Izin Pertambangan Rakyat (IPR)," jelas Nasir.

Untuk mempercepat pelaksanaannya, dibentuk tim kecil beranggotakan lintas instansi. Tim ini bertugas untuk menyusun rencana aksi yang konkret, manajemen risiko, serta jadwal pelaksanaan operasi ke lapangan, memastikan langkah-langkah yang diambil terukur dan efektif.

"Diputuskan membentuk tim kecil beranggotakan lintas instansi untuk menyusun rencana aksi dan manajemen resiko, dan rencana jadwal pelaksanaan operasi ke lokasi," ujar Nasir.

Penegasan ini disampaikan Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh, M. Nasir, saat memimpin rapat teknis penertiban tambang ilegal di Ruang Rapat Sekda, Kota Banda Aceh. Rapat koordinasi ini dihadiri oleh sejumlah pejabat tinggi, termasuk Kapolda Aceh Irjen Marzuki Ali Basyah, perwakilan Forkopimda Aceh, serta kepala Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) dan biro terkait.

Rapat ini merupakan implementasi langsung dari Surat Keputusan Gubernur Aceh Nomor 000.7/1144/2025 tentang Pembentukan Tim Penertiban Pertambangan Ilegal di Aceh. Selain itu, langkah ini juga menindaklanjuti hasil pertemuan Gubernur Aceh bersama Forkopimda pada 30 September 2025 silam di Meuligoe Gubernur Aceh.

Terkait Pansus Mineral dan Migas DPR Aceh mengungkap praktik penyetoran uang keamanan yang telah berlangsung lama. Dalam operasinya, ratusan unit ekskavator ilegal diwajibkan menyetor sejumlah uang setiap bulannya kepada aparat penegak hukum.

Setiap unit ekskavator ilegal dari total sekitar 1.000 unit yang tersebar di 450 titik lokasi, diwajibkan menyetor Rp 30 juta per bulan. Jika dikalkulasi, total dana yang beredar dari praktik ini mencapai Rp 360 miliar per tahun.

Sementara pantauan Metrotvnews.com di lokasi, aktivitas tambang ilegal di kawasan hutan lindung Kecamatan Geumpang, Kabupaten Pidie, Aceh, masih berlangsung, meski Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem) telah mengeluarkan ultimatum tegas seluruh alat berat harus keluar dari hutan Aceh dalam jangka waktu dua minggu.

Salah seorang pekerja tambang ilegal di Geumpang, Kabupaten Pidie, membenarkan keberadaan aktivitas ilegal tersebut. "Ini tambang, tambang ilegal," ujar salah seorang pekerja tambang yang enggan disebutkan namanya.

Ia mengaku para pekerja tidak hanya berasal dari warga sekitar, tetapi juga dari berbagai daerah seperti Kabupaten Aceh Utara, Gayo Lues, bahkan Medan.

Sebagai wilayah penghasil emas tradisional di Aceh, nama Geumpang telah lama dikenal. Namun, di balik itu, ada persoalan serius karena sebagian besar aktivitas tambangnya beroperasi secara ilegal di dalam kawasan hutan lindung.

Praktik ini telah mengakibatkan kerusakan hutan yang parah, yang dikhawatirkan akan menggangu sistem hidrologi, tidak hanya di wilayah tengah Aceh tetapi juga hingga ke daerah hilir seperti Tangse dan Pidie bagian pesisir. Ancaman nyata lainnya adalah hilangnya keanekaragaman hayati, meningkatnya risiko bencana longsor, dan pencemaran air sungai yang merusak ekosistem.

Campaign Officer Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), Raja Mulkan, mengatakan bahwa kawasan hutan di Geumpang memiliki fungsi ekologis vital sebagai daerah tangkapan air yang menopang kebutuhan masyarakat di wilayah hilir.

“Kalau hutan rusak, kualitas air tanah dan sungai menurun. Itu berdampak langsung pada kehidupan masyarakat yang bergantung pada air untuk minum dan bertani,” jelas Raja.


Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Deny Irwanto)