Nihil Upaya Masif Transisi, Indonesia Bisa Kolaps Gegara Subsidi Energi

Ilustrasi transisi energi. Foto: Koaksi Indonesia.

Nihil Upaya Masif Transisi, Indonesia Bisa Kolaps Gegara Subsidi Energi

Husen Miftahudin • 30 May 2024 17:34

Jakarta: Perekonomian Indonesia terancam kolaps imbas bengkaknya subsidi energi di tengah kenaikan harga minyak dunia dan perkasanya dolar Amerika Serikat (AS). Di sisi lain, upaya transisi energi yang digaungkan pemerintah, masih 'jalan di tempat'.

"Diperkirakan kita akan kolaps, mohon maaf, kalau sampai crude (minyak mentah) mendekati USD95. Apalagi kalau dolar AS lantas tembus, katakanlah Rp17 ribu, yang membuat angka subsidi meledak sebagaimana 2022 lalu," ucap Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai NasDem Sugeng Suparwoto dalam acara 'Proyeksi Ekonomi Indonesia Pasca Pemilu 2024' yang diselenggarakan DPP Partai NasDem, diikuti secara daring, Kamis, 30 Mei 2024.

Adapun, Indonesia Crude Oil Price (IPC) yang merupakan harga jual minyak mentah di Indonesia secara rata-rata pada Januari sampai dengan Mei 2024 berada di kisaran USD81,52 per barel. Sementara berdasarkan APBN 2024, ICP tahun ini ditargetkan sebesar USD82 per barel.

Pemerintah sempat khawatir, pada April 2024 angka ICP secara rata-rata mencapai USD87,61 per barel, mengalami kenaikan USD3,83 per barel dari ICP Maret sebesar USD83,78 per barel. Lonjakan ini akibat ketegangan di Timur Tengah yang memicu kekhawatiran pasar akan gangguan suplai minyak.

Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar AS saat ini sudah menembus Rp16.200 per USD. Angka ini di atas asumsi makro sejumlah ekonom sebesar Rp15.500 per USD, bahkan jauh di atas asumsi makro APBN 2024 yang dipatok sebesar Rp15.000 per USD.

"Angka ICP memang sudah terlewati, dari USD82 (per barel) yang kita tetapkan, angka rata-rata sampai hari ini di kisaran USD87 (per barel). Jadi sudah ada selisih USD5 dengan selisih kurs yang kurang lebih Rp700, jadi double hit istilahnya," tukas Sugeng.
 

Baca juga: Dorong Investasi Hijau, Pemerintah Beri Pendekatan Menarik ke Investor
 

Pemerintahan selanjutnya harus genjot transisi energi


Kondisi membengkaknya subsidi energi imbas merangkak naiknya harga minyak mentah dunia dan ambruknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tak bisa membuat pemerintah serta merta langsung mengambil jalan pintas dengan kebijakan unpopulis, seperti menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).

Kebijakan mengerek harga BBM akan merembet pada pelemahan di sektor ekonomi lainnya. Ini terjadi gara-gara tingkat gini ratio Indonesia yang stagnan dan tak kunjung membaik.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2023, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur menggunakan Gini Ratio adalah sebesar 0,388. Angka ini meningkat 0,007 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio September 2022 yang sebesar 0,381 dan meningkat 0,004 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2022 yang sebesar 0,384.

"Jika harus menaikkan harga BBM, maka konsekuensinya adalah terjadinya kenaikan inflasi. Selanjutnya berkonsekuensi dengan kemiskinan yang akan naik. Tingkat gini ratio yang masih agak jomplang ini mengerikan, karena kenaikan BBM ini biasanya akan berimbas pada terjadinya kerusuhan dan lain-lain," ungkap Sugeng.

Karena itu, ia menyarankan agar pemerintahan selanjutnya yang sudah terpilih dari kontestasi Pemilu 2024, mau dan menegaskan komitmen terhadap kebijakan transisi energi dan memperluas bauran energi baru terbarukan (EBT).

"Tampaknya ini (transisi energi) menjadi sebuah keharusan, kita harus masuk ke EBT. Karena fosil di minyak sudah defisit, kita sudah net importer sekarang," tukas Sugeng.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Husen Miftahudin)