Ilustrasi. Duta/MI
Media Indonesia • 7 March 2024 06:02
JAKARTA tidak lagi menyandang status ibu kota. Undang-Undang (UU) Nomor 29 Tahun 2007 tentang DKI Jakarta menyatakan status Jakarta sebagai ibu kota negara berakhir pada 15 Februari 2024. Jakarta kini menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ).
Namun, karena menyandang nama khusus dan tidak lagi menjadi ibu kota negara, status kekhususan baru Jakarta segera harus ditentukan. Apakah status khususnya sebagai pusat bisnis, ekonomi, pusat perdagangan, pusat keuangan, atau ada kekhususan lain yang disiapkan.
DPR telah menugasi Badan Legislasi untuk menyelesaikan RUU DKJ itu menjadi undang-undang. Pemerintah juga telah menugasi lima menteri untuk bersama atau secara terpisah membahas RUU DKJ bersama DPR. Kelima menteri itu ialah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar Anas, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly.
Dari bermacam opsi kekhususan untuk Jakarta yang ada dalam RUU DKJ, ketentuan dalam Pasal 10 ayat 2 RUU DKJ soal pengangkatan dan pemberhentian langsung gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta oleh presiden dengan usulan dari DPR menjadi poin yang harus dicermati. Jika pasal ini disetujui, itu akan mengakhiri rezim pemilihan langsung oleh rakyat yang telah berlangsung 16 tahun.
Pengangkatan dan pemberhentian gubernur dan wakil gubernur Jakarta langsung oleh presiden dengan dalih statusnya daerah khusus adalah langkah keliru. Kekhususan Jakarta itu semestinya tidak harus dilakukan dengan mengubah pola pemilihan pemimpinnya. Apalagi jika perubahan itu hanya didasari alasan menghemat anggaran dan efisiensi biaya.
Baca Juga:
Penunjukan Gubernur Jakarta oleh Presiden Dinilai Mengkhianati Demokrasi |