Pesta Demokrasi Harus Menjunjung Tinggi Kesetaraan dan Keadilan

Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat (Rerie). Dok Medcom.id

Pesta Demokrasi Harus Menjunjung Tinggi Kesetaraan dan Keadilan

Arga Sumantri • 20 September 2023 23:34

Jakarta: Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat (Rerie) menilai perjuangan mewujudkan keterwakilan 30 persen perempuan di parlemen pada Pemilu 2024 menjadi sulit. Padahal, kata dia, Pemilu 2024 seharusnya menjadi tonggak sejarah yang mampu memberi warna bahwa demokrasi lekat dengan kesetaraan dan keadilan. 

"Karena ada perubahan peraturan KPU (Komisi Pemilihan Umum) di tengah proses pencalonan legislatif yang sudah berjalan," kata Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Menyambut Pesta Demokrasi 2024, yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu, 20 September 2023.

Menurut Rerie, demokrasi merupakan sebuah sistem politik yang memberikan penghormatan pada kemanusiaan dan kesetaraan.  Sehingga, berdemokrasi sesungguhnya merupakan salah satu kanal perwujudan nilai-nilai kemanusiaan dan kesetaraan. 

Legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu berpendapat pesta demokrasi bisa menjadi pelajaran penting bagi masyarakat bahwa lawan politik dalam berkompetisi bukan berarti musuh politik. Apalagi demokrasi adalah sebuah proses yang berkelanjutan dan bertanggung jawab, dengan tujuan utama untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.

"Pemahaman ini harus menjadi perhatian kita bersama," ujar anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu.

Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustofa mengatakan demokrasi masih dipercaya sebagai pilihan sistem untuk mewujudkan kesejahteraan suatu negara. Makanya, demokrasi harus dirawat dan dikembangkan agar lebih berkualitas. 

"Sehingga cita-cita tentang kesejahteraan, keadilan dan kesetaraan bisa diwujudkan," ujar Saan.

Menurut Saan, Pemilu 2024 merupakan momentum  untuk menjawab berbagai persoalan demokrasi yang dihadapi saat ini. Ia menyebut sehat atau tidaknya demokrasi Indonesia bisa dilihat dari seberapa besar negara terlibat dalam setiap tahapan proses pemilu. 

"Pemilu 2024 diharapkan dapat melahirkan pemimpin yang memiliki komitmen menjaga demokrasi  yang sehat dan tumbuh berkualitas," ungkap Saan.

Anggota Dewan Pers Asep Setiawan menyebut untuk mengukur kualitas demokrasi bisa dilihat dari dua hal, yaitu proses dan hasilnya. Pada Pemilu 2014 dan 2019, ujar Asep, proses demokrasi Indonesia sejak awal sudah bermasalah dari sisi manajemen penyelenggaraan pemilu. 

"Indonesia sudah menerapkan konsep one man, one vote atau satu individu, satu suara dalam pemilu, tetapi dalam manajemen pemilu tampaknya harus ditata kembali agar terbentuk manajemen pemilu yang lebih akuntabel dan mewujudkan pemilu yang berkualitas," beber Asep.

Asep mengatakan Pemilu 2019 menghasilkan sejumlah anggota kabinet dan anggota legislatif yang masih banyak masalah. Harapan sistem demokrasi, menurut dia, yakni pemerintahan yang berkualitas dan efektif serta mampu mewujudkan kesejahteraan bangsa Indonesia. 

"Komitmen partai politik untuk membangun demokrasi menjadi lebih baik sangat penting. Bila komitmen itu tidak ada, bangsa ini akan menghadapi masalah besar," kata Asep.

Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini berpendapat penyelenggaraan Pemilu 2024 akan mirip dengan Pemilu 2019. Sebab, masih mengacu Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. 

Titi menegaskan pemilu harus bebas dan adil agar pelaksanaan pemilu tidak terjebak pada pelaksanaan prosedural semata. Makanya, kerangka hukum dan aturan pemilu harus betul-betul demokratis, penyelenggara pemilu pun harus profesional dan berintegritas.

"Peserta pemilu harus mampu berkompetisi secara kompetitif, birokrasi harus profesional dan netral, penegakan hukum harus adil, efektif, transparan dan akuntabel, serta pemilih yang berdaya dan terinformasi dengan baik," beber Titi.

Sementara itu, wartawan senior Saur Hutabarat mempertanyakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang belum mendapatkan anggaran pembiayaan pemilihan presiden (pilpres) untuk putaran kedua. Padahal, menurut Saur, dengan perkiraan tiga kontestan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan berkompetisi pada Pemilu 2024, peluang terjadinya putaran kedua sangat besar. 

"Upaya pengawasan Pemilu 2024 harus diperkuat mengingat para pejabat sementara di sejumlah daerah ditengarai merupakan orang di lingkaran presiden," ujar Saur.

Saur menilai usulan percepatan pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 dari November 2024 menjadi September 2024 patut ditolak. Sebab, kekuasaan Presiden periode 2019-2024 baru berakhir pada 20 Oktober 2024. 

"Dengan mempercepat penyelenggaraan pilkada pada September 2024, tegas Saur, membuka kemungkinan presiden mengintervensi pilkada yang anak dan menantunya berkemungkinan ikut pilkada di dua provinsi berbeda yang merupakan salah satu faktor yang bisa merusak demokrasi," papar Saur.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Arga Sumantri)