Pemerintah dan DPR Didorong Merevisi UU Pemberantasan TPPO

Ilustrasi. Foto: Dok Medcom.id

Pemerintah dan DPR Didorong Merevisi UU Pemberantasan TPPO

Indriyani Astuti • 5 July 2023 21:09

Jakarta: Sejumlah elemen masyarakat sipil mendorong pemerintah dan DPR merevisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). UU tersebut dinilai masih punya banyak kekurangan.

Anggota Ketua Dewan Pembina Lembaga Hukum dan HAM Padma Indonesia Martinus Gabriel Goa menyatakan penelitian Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) dapat menjadi sumber dasar penyusunan naskah akademik revisi UU Pemberantasan TPPO. ICJR mendapai sejumlah catatan tentang kerangka hukum TPPO.

"Pentingnya pengaturan hak korban dengan memberikan jaminan rumah aman bagi korban, dan proses revisi yang harus dilakukan dengan melibatkan multi aktor," kata Martinus dalam keterangannya, Rabu, 5 Juli 2023.

Ia menilai revisi harus melibatkan sejumlah pihak. Misalnya, Lembaga Perlindungan Sakdi dan Korban (LPSK) atau lembaga internasional. "Untuk mendukung dan masyarakat sipil yang mengadvokasi TPPO," ujarnya.

Salah satu kekurangan UU Pemberantasan TPPO yakni belum komprehensif mengatur pemidanaan perdagangan orang di luar Indonesia. Aturan itu hanya menjerat pelaku lapangan.

Hasil penelitian terkait evaluasi kerangka hukum TPPO yang dilakukan Institute for Criminal dan Justice Reform (ICJR), ditemukan sejumlah catatan. Pertama, pengaturan khusus mengenai anak, ICJR menyebut konsen/persetujuan untuk anak tidak relevan untuk digali dalam TPPO anak, namun hal ini tidak dimuat dalam UU Pemberantasan TPPO.

Kedua, mengenai putusan pengadilan kasus TPPO. Analisis ICJR yang dilakukan terhadap 38 putusan Mahkamah Agung dengan dakwaan dan tuntutan dengan UU Pemberantasan TPPO, menunjukkan dari 38 putusan,14 putusan akhir dinyatakan TPPO, 5 putusan prostitusi dan 4 putusan bebas.

Adapun jenis eksploitasi paling banyak yakni eksploitasi seksual dan pekerja migran. Dari 38 Putusan di Tingkat Mahkamah Agung, ICJR menyebut bahwa paling banyak pelaku ada perekrut kerja diikuti oleh mucikari. Sebanyak 33 perkara tanpa pendampingan korban. Dari 38 putusan itu juga diketahui 26 perkara tanpa tuntutan restitusi bagi korban, 12 perkara dengan tuntutan restitusi, dan 10 dengan putusan restitusi.

Ketiga, berkaitan pemahaman aparat penegak hukum (APH). ICJR menemukan tiga komponen inti TPPO belum sepenuhnya dipahami APH, yakni sangat sedikit aparat penegak hukum yang mampu mengidentifikasi permasalahan UU TPPO. APH disebut hanya menjelaskan bahwa unsur proses TPPO berupa rekrutmen dan mensyaratkan adanya perpindahan orang.

APH juga dinilai masih menemukan kesulitan menjelaskan perbedaan TPPO dengan terjadinya bentuk eksploitasi TPPO yaitu kerja paksa, eksploitasi kerja migran, eksploitasi seksual, dan penyeludupan manusia. Lalu, belum pernah ada penerapan penanganan perkara TPPO dengan bentuk kerja paksa di wilayah Indonesia dan penegakan hukum sulit untuk menjerat jaringan kejahatan terorganisasi dan transnasional.

Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Pekerja dan Tindak Pidana Perdagangan Orang Prijadi Santoso mendukung revisi UU PTPPO yang lebih akomodatif terhadap semua bentuk TPPO. 

Sementara, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi (LPSK) Antonius PS Wibowo mengatakan UU PTPPO telah berusia 16 tahun. Sehingga, perlu direvisi dengan menyertakan aturan teknis khususnya tentang pemenuhan hak korban utamanya restitusi.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Arga Sumantri)