Benjamin Netanyahu (Kiri) dan Donald Trump (Kanan), 4 Februari 2025. (EFE/EPA/JIM LO SCALZO / POOL)
Riza Aslam Khaeron • 6 February 2025 16:53
Jakarta: Pada Selasa, 4 Februari 2025, dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengejutkan dunia dengan pernyataannya bahwa AS akan "mengambil alih" dan "memiliki" Gaza.
Pernyataan ini memicu kecaman global, termasuk dari negara-negara Arab dan PBB, yang menganggap rencana tersebut sebagai bentuk pembersihan etnis.
Sehari setelahnya, pada Rabu, 5 Februari 2025, juru bicara Gedung Putih Karoline Leavitt menyatakan bahwa Trump tidak berencana menempatkan pasukan AS di Gaza, melainkan hanya "sementara merelokasi" penduduk Palestina, sementara solusi jangka panjang tetap tidak jelas. Banyak pihak jadi mempertanyakan sejauh mana keseriusan Trump dalam pernyataan ini.
Mengapa Trump mengeluarkan pernyataan seperti ini, dan apa motif di baliknya?
Motif Ekonomi dan Properti Gaza
Mengutip Al Jazeera pada Rabu, 5 Februari 2025, Trump menggambarkan Gaza sebagai "lokasi fenomenal" dengan "potensi luar biasa" untuk dikembangkan. Dia mengatakan, "[Kita akan] membuatnya menjadi tempat internasional yang luar biasa. Saya pikir potensi untuk Jalur Gaza itu luar biasa."
Trump bahkan menambahkan bahwa "perwakilan dari seluruh dunia akan datang dan tinggal di sana" sebagai bagian dari visi pengembangannya.
Pernyataan ini mengingatkan pada komentar menantunya, Jared Kushner, pada Maret 2024, yang menyebut Gaza sebagai kawasan properti bernilai tinggi dan mengusulkan pemindahan warga Palestina ke Mesir atau Gurun Negev.
Sejalan dengan pemikiran Kushner, Trump tampaknya melihat Gaza bukan sebagai wilayah konflik yang membutuhkan solusi kemanusiaan, tetapi lebih sebagai peluang investasi properti dan ekonomi global.
Diana Buttu, mantan penasihat Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), melirik dan mengecam keras gagasan mengubah Gaza menjadi "Riviera" atau wisata Tepi Pantai Trump.“Siapa kalian yang berhak memutuskan bahwa kami menginginkan Riviera Timur Tengah yang sepenuhnya mengabaikan sejarah kami?” bantahnya.
Menarik Dukungan Sayap Kanan Israel
Langkah Trump ini juga dapat dilihat sebagai cara untuk mendapatkan dukungan dari kelompok sayap kanan Israel yang telah lama menginginkan permukiman ilegal di Gaza.Menurut Al Jazeera, pengumuman ini dapat dimaknai sebagai upaya menenangkan kelompok tersebut setelah Trump memberikan dukungan terhadap gencatan senjata yang tidak mereka inginkan.
Argumen ini cocok dengan momentum dimana Trump menyatakan rencananya ketika bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada hari Selasa yang merupakan pejabat senior Sayap Kanan Israel.
Selain itu, selama bertahun-tahun, politisi Israel telah mendukung gagasan pemindahan paksa warga Palestina. Dokumen yang bocor dari Kementerian Intelijen Israel menunjukkan bahwa pada awal perang di Gaza, pemerintah Israel sempat mempertimbangkan pemindahan warga Palestina ke Gurun Sinai.
Meskipun secara resmi Netanyahu menolak gagasan ini, banyak tokoh politik Israel yang tetap mendorongnya.
"Ide ini sangat tidak masuk akal, tetapi memang sesuatu yang telah lama didorong oleh Israel. Ini bukanlah konsep yang baru bagi Trump," kata Buttu kepada Al Jazeera.
Bujuk Negara-negara Arab Lebih Terlibat Rekonstruksi Gaza
Al Jazeera melaporkan bahwa rencana Trump juga dapat bertujuan untuk menekan negara-negara Arab agar terlibat dalam pembiayaan rekonstruksi Gaza. Penasihat Keamanan Nasional AS, Mike Waltz, mengatakan bahwa pengumuman ini bisa menjadi pancingan bagi negara-negara kawasan untuk "mengusulkan solusi mereka sendiri".
Namun, reaksi dari negara-negara Arab menunjukkan penolakan keras. Arab Saudi secara tegas menolak proposal Trump, bahkan mengeluarkan pernyataan resmi pada pukul 04.30 pagi waktu setempat, menunjukkan urgensi dalam penolakannya. Yordania dan Mesir juga menyatakan keberatan mereka terhadap rencana tersebut.
Motif di balik pengumuman Trump tentang pengambilalihan Gaza tampaknya berlapis, mencakup kepentingan ekonomi, dukungan politik domestik dan internasional, serta strategi menekan negara-negara Arab.
Namun, seperti yang dikatakan analis Timur Tengah Jasmine el-Gamal kepada Al Jazeera, "Menganalisis pikiran Trump adalah upaya yang sia-sia."
"Sulit membayangkan bahwa dia (Trump) benar-benar percaya bahwa (AS) dapat masuk, mengusir orang-orang, dan seperti yang dikatakan Trump, mengundang 'orang-orang dunia' untuk tinggal di sana. Ini benar-benar fantasi," tambah Jasmine.
Dengan tidak adanya rencana konkret dan reaksi negatif dari banyak pihak, wacana ini mungkin lebih merupakan taktik negosiasi ketimbang kebijakan yang benar-benar akan dijalankan.