Tawarkan Pajak Flat, Italia Kini Jadi Destinasi Baru Orang-orang Super Kaya Dunia

Pelabuhan Genoa, Italia menjadi destinasi utama orang super kaya dunia. Foto: Cunard.com

Tawarkan Pajak Flat, Italia Kini Jadi Destinasi Baru Orang-orang Super Kaya Dunia

Husen Miftahudin • 9 September 2025 13:55

Roma: Italia diproyeksikan menjadi tujuan 3.600 jutawan pada 2025, menempati peringkat ketiga global setelah Uni Emirat Arab (9.800) dan Amerika Serikat (7.500). Lonjakan ini dipicu kebijakan pajak non-domiciled (non-dom) yang menarik para miliarder mencari optimisasi fiskal dan kualitas hidup.

Kebijakan yang dikenal sebagai 'aturan CR7' menawarkan pajak flat sebesar 200 ribu euro per tahun untuk penghasilan luar negeri yang berlaku hingga 15 tahun.

Bagi anggota keluarga, tarif pajak ditetapkan 25 ribu euro per orang. Kebijakan ini mencakup investasi, keuntungan modal, warisan, hingga hak citra yang diperoleh di luar Italia.
 
Baca juga: Miliarder Amerika Bayar Pajak Lebih Murah dari Warga Biasa, Kok Bisa?


(Ilustrasi. Foto: Metrotvnews.com)
 

Faktor pendukung


Eksodus jutawan dari Inggris akibat pencabutan kebijakan non-dom mendorong arus migrasi ke kota-kota seperti Milan. Italia juga menawarkan infrastruktur mewah berupa klub eksklusif, hotel kelas dunia seperti Rocco Forte dan Rosewood, serta dukungan firma hukum internasional.

Ditambah lagi, kualitas hidup dengan iklim Mediterania, kuliner khas, serta biaya hidup yang lebih rendah dibanding London atau Monaco menjadi daya tarik tambahan. Total kekayaan finansial Italia pada 2024 tercatat sebesar USD6,9 triliun, menempatkannya di peringkat kedelapan global.

Komposisi aset terdiri dari 40 persen saham dan reksa dana, 25 persen deposito, serta 18 persen asuransi dan pensiun. Proyeksi 2029 menunjukkan angka USD9,455 triliun dengan pertumbuhan rata-rata 6,5 persen per tahun.

Italia kini memiliki 517 ribu jutawan dengan aset lebih dari USD1 juta, serta 2.600 ultra-kaya dengan aset di atas USD100 juta. Pertumbuhan tahunan populasi orang kaya ini diperkirakan sebesar satu persen untuk jutawan dan tiga persen untuk ultra-kaya.

Meski dinilai dapat mendorong konsumsi, investasi, serta meningkatkan pendapatan pajak, kebijakan ini juga memunculkan kritik. Para skeptis menilai terdapat risiko inflasi properti dan jasa, serta persaingan pajak yang dianggap tidak sehat antarnegara. (Muhammad Adyatma Damardjati)

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Husen Miftahudin)