Revisi KUHAP Diminta Tak Mendistorsi Fungsi Pengawasan Pers

Ilustrasi. Metrotvnews.com.

Revisi KUHAP Diminta Tak Mendistorsi Fungsi Pengawasan Pers

Devi Harahap • 20 April 2025 07:50

Jakarta: Pakar Hukum Acara Perdata dan Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan wacana melarang penyiaran persidangan secara langsung dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bertentangan dengan prinsip dasar pengadilan yang seharusnya bersifat terbuka.

"Sesungguhnya, sidang peradilan itu terbuka untuk umum bagi siapa pun, sebagai konsekuensi dari asas keterbukaan peradilan yang dinyatakan setiap awal pembukaan sidang, sehingga harus disiarkan langsung," kata Fickar, Minggu, 20 April 2025. 

Ia menilai revisi KUHAP yang akan mengganti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 berpotensi mendistorsi peran pers. Sekaligus, menutup akses informasi publik dengan menggerus transparansi proses peradilan. 

Sebab, beleid yang mengatur tata cara penegakan hukum pidana, mulai dari proses penyelesaian kasus pidana hingga penegakan hak untuk tersangka dan terdakwa tersebut, akan memuat aturan baru mengenai larangan mempublikasikan proses persidangan secara langsung tanpa izin pengadilan. 

Aturan tersebut termaktub dalam Pasal 253 ayat (3), yang berbunyi; Setiap orang yang berada di sidang pengadilan dilarang memublikasikan proses persidangan secara langsung tanpa izin pengadilan. 

Dalam ayat (4) pasal yang sama disebutkan; pelanggaran tata tertib pada poin ketiga merupakan tindak pidana, dan dapat dituntut berdasarkan undang-undang.
 

Baca juga: Ganggu Wartawan, AJI Minta Larangan Liput Sidang di RKUHAP Dihapus

Pelarangan merugikan pers dan HAM

Menurut Fickar, aturan tersebut tak hanya akan merugikan pers, melainkan masyarakat umum yang memiliki hak untuk mendapatkan informasi terkait penegakan hukum. Fickar mengatakan jika siaran langsung bisa memengaruhi keterangan saksi, maka solusi seharusnya bukan membatasi informasi. Melainkan, melindungi saksi, semisal dengan memastikan saksi tidak mengakses siaran langsung sebelum memberikan kesaksiannya.

Menurutnya, siaran langsung justru dapat menjadi instrumen penting dalam mendorong transparansi keadilan. Sebab, selama ini banyak pengadilan masih kesulitan memanfaatkan saluran publikasi secara maksimal.

"Ketentuan ini bertentangan dengan prinsip keterbukaan peradilan. Jika yang dimaksudkan agar para saksi tidak terpengaruh, ini adalah alasan yang mengada-ada, di samping sanksi yang belum diperiksa bisa ditempatkan pada satu tempat tertentu yang tidak ada siaran televisi," ujar dia.

Dengan begitu, para saksi tidak bisa memantau persidangan yang disiarkan secara langsung. Kalau memang para saksi terpengaruh, ia menilai mereka tidak akan memberikan keterangan saksi secara valid dan akan ada ancaman pidana terhadap keterangan palsu,

"Tidak mungkin saksi mengetahui seluk-beluk keterangan orang lain, hal ini bisa dibuktikan dengan menanyakan terus alasan pengetahuannya dan pasti tidak akan sinkron dengan saksi yang ditirunya," ungkapnya.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Arga Sumantri)