Pantauan udara bencana gempa, tsunami, dan likuifaksi di Petobo, Sulteng. Foto: MI/Ramdani
Lukman Diah Sari • 28 September 2025 08:38
Jakarta: Hari ini, 7 tahun lalu, pada 28 September 2018, telah terjadi bencana dahsyat melanda Sulawesi Tengah. Gempa bumi berkekuatan magnitudo (M) 7,4 mengguncang wilayah Palu dan Donggala, yang disusul tsunami dan fenomena likuefaksi hingga meluluhlantakkan ribuan rumah dan menelan ribuan korban jiwa.
Melansir Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), jumlah korban meninggal dan hilang mencapai 4.340 jiwa. Jumlah terbanyak di Kota Palu.
Rincian Korban Meninggal dan Hilang:
- Kota Palu: 3.689 jiwa
- Donggala: 231 jiwa
- Sigi: 405 Jiwa
- Parigi Moutong: 15 jiwa
Anggota Basarnas mengevakuasi jenazah yang terjebak reruntuhan bangunan di Perumahan Nasional Balaroa, Palu Barat, Sulawesi Tengah. Foto: MI/Susanto.
Tak hanya korban jiwa, BNPB mencatat ada 4.438 orang luka-luka. Kemudian, sebanyak 172.632 jiwa mengungsi.
- Rincian Jumlah Pengungsi:
- Kota Palu: 40.374 jiwa
- Donggala: 36.346 jiwa
- Sigi: 93.187 jiwa
- Parigi Moutong: 2.728 jiwa
Kronologi Bencana
Melansir laman Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), tercatat kekuatan gempa M 7,7 terjadi pada 28 September 2028, pukul 17.02 WIB, yang kemudiah dimutakhirkan menjadi M 7,4. Deputi Bidang Geofisika BMKG Muhamad Sadly, mengungkap gempa tersebut berjarak 26 kilometer dari utara Donggala, dengan kedalaman 10 kilometer.
Selanjutnya, guncangan gempa mengakibatkan tsunami yang berdampak di beberapa wilayah di Pantai Donggala dan Pantai Talise Palu. Ketinggian tsunami, tercatat mulai 0,5 meter hingga 3 meter di Palu dan ketinggian 0,5 meter di Mamuju.
Warga melintas di depan kapal yang terseret ke darat saat tsunami menerjang Desa Wani II, Kecamatan Tanantovea, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. (Foto: MI/M Taufan SP Bustan)
"Dari hasil monitoring BMKG hingga Pukul 02.55 WIB, telah terjadi 76 Gempabumi susulan yang tercatat, dengan magnitude terbesar M6,3 dan terkecil M2,9," ujar Sadly.
Selain gempa bumi dan tsunami, melansir Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes, fenomena likuefaksi terjadi di sejumlah wilayah. Fenomena likuefaksi, -melansir ejournal Kementerian ESDM- merupakan hilangnya kekuatan tanah akibat tegangan air pori dan turunan tekanan dari lapisan tanah akibat beban siklis, seperti gempa bumi.
Fenomena likuefaksi membuat tanah bergerak seperti air. Sehingga benda-benda di atas permukaan tanah, ditelan dan tergulung. Dalam fenomena ini, diduga banyak korban jiwa yang tertelan dan dinyatakan hilang.
Pusat Krisis Kemenkes memerinci wilayah yang terdampak likuefaksi, yakni:
- Petobo: 181 hektare
- Balaroa: 40 hektare
- Jono Oge, Kabupaten Sigi: 209 Hektare
Dalam laman BMKG, Sadly mengungkap gempa bumi yang terjadi merupakan jenis dangkal akibat aktifitas sesar Palu Koro. Hasil analisis menunjukkan gempa ini dibangkitkan oleh deformasi dengan mekanisme pergerakan dari struktur sesar mendatar (Slike-Slip).
Pantauan udara, Kerusakan dampak bencana gempa, tsunami dan likuefaksi di Petobo, Palu. (Foto:MI/Ramdani)
Kerusakan Fisik dan Kerugian
Dalam laman BNPB tercatat, dampak kerugian yakni 2,89 triliun. Sedangkan dampak kerusakan mencapai Rp15,58 triliun. Berikut rincian kerusakan bangunan:
Rumah rusak 68.451 unit, tersebar di:
- Kota Palu: 42.846 unit
- Donggala: 21.378 unit
- Sigi: 30.326 unit
- Parigi Moutong: 5.550 unit
Selain itu, kerusakan bangunan fasilitas umum, yakni:
- Sekolah: 265 unit
- Rumah ibadah: 327
- Hotel: 5
- Jembatan: 7
- Perkantoran: 78
- Pertokoan: 362
Sejumlah rumah roboh pasca gempa menguncang Sulteng. (Foto:MI/Ramdani)
Penanganan darurat dampak gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi di Sulawesi Tengah terus dilakukan. Percepatan pemulihan dampak bencana terus dintensifkan, khususnya pemenuhan kebutuhan dasar pengungsi, pelayanan medis, perbaikan infrastruktur dasar, dan normalisasi kehidupan masyarakat.
Masa tanggap darurat bencana masih diberlakukan hingga 26 Oktober 2018. Beberapa fasilitas publik seperti listrik dan komunikasi sebagian besar sudah pulih di daerah terdampak bencana.
Wilayah Petobo, Kota Palu, Sulawesi Tengah yang terdampak gempa akibat berada di atas sesar Palu Koro - Medcom.id/Deny Irwanto.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah melanjutkan dengan masa transisi darurat hingga 23 Februari 2019. Selama itu, pemeirntah fokus pada pemenuhan kebutuhan pegungsi dan hunian sementara warga terdampak.
Kemudian, pemerintah setempat melanjutkan dengan membuat hunian tetap (huntap) untuk warga terdampak gempa, tsunami, dan likuefaksi. Bangunan huntap ditarget selesai pada 2021, dengan total 600 hekatre lahan disiapkan.
Presiden Joko Widodo meninjau pembangunan hunian tetap (huntap) di Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikurore, Palu, Sulawesi Tengah. (Foto: Damar Iradat/Medcom.id)
Salah satu warga pertama yang menempati huntap, Dewi, mengaku nyaman dengan hunian tersebut. "Saya sudah delapan malam di sini (huntap Balaroa). Saya yang pertama tinggal di sini," kata seorang penyintas bencana, Dewi Listiawati, Rabu, 24 Juni 2020, melansir
Medcom.id.
Kini, wilayah terdampak bencana likuefaksi, di Balaroa, Palu, dinyatakan sebagai wilayah zona merah. Melansir
Medcom.id, Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan bahwa wilayah tersebut dilarang mendirikan bangunan.