Lukman Diah Sari • 24 September 2025 06:27
Jakarta: Pada 24 September 1999 tepatnya 26 tahun lalu, aksi unjuk rasa mahasiswa dan masyarakat pecah di berbagai kota, salah satunya di Jakarta, tepatnya di Jembatan Semanggi. Massa menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB).
Melansir Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), aksi pada 24 September 1999 itu kisruh, hingga menyebabkan korban jiwa dan luka. Tercatat, sebanyak 11 orang meninggal dan 217 korban luka, diduga akibat tindakan respresif aparat.
Melansir Tempo, salah satu korban jiwa, Yap Yun Hap, yang merupakan mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Indonesia, diduga ditembak aparat, sekitar pukul 20.45 WIB, saat makan nasi bungkus. Yap Yun Hap disebut terkena tembakan di punggung, yang menyebabkan cedera serius dan rusaknya beberapa organ vital. Identitas penembak Yap Yun Hap belum jelas hingga kini.
Selanjutnya, Tim Pencari Fakta Independen (TPFI) dibentuk untuk mengusut tragedi ini. TPFI terdiri dari sejumlah pakar dari berbagai bidang keilmuan -mengutip Kompas-. Meskipun TPFI telah melaporkan berbagai temuannya, hingga kini belum ada kejelasan dari tragedi tersebut.

Ilustrasi (Tangkapan layar/Metro TV/Melawan Lupa - Jejak Duka Tragedi Semanggi)
Kemudian, Panitia Khusus (Pansus) dibentuk DPR untuk menyelidiki tiga peristiwa penting, yakni Tragedi Trisakti, Semanggi I, pada 1998; dan Semanggi II. Melansir Tempo, Pansus bertugas untuk menggali fakta-fakta dan menentukan apakah ada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat dalam peristiwa-peristiwa itu.
Setelah serangkaian penyelidikin, pada 2001, tujuh fraksi di DPR menyimpulkan tidak ada indikasi pelanggaran HAM berat dalam tiga peristiwa tersebut. Hasil dari Pansus DPR berbeda dengan serangkaian investigasi oleh Komnas HAM, yang menyatakan sebagai pelanggaran HAM Berat.
DPR selanjutnya menyerahkan hasil penyelidikikan ke Kejaksaan Agung pada 2002, untuk ditindaklanjuti melalui proses hukum. Namun, Kejaksaan Agung saat itu tidak melanjutkan dengan alasan kasus telah disidangkan melalui pengadilan militer.
PR Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM
Bagai petir di siang bolong, pada 16 Januari 2020 -mengutip KontraS-,
Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan bahwa peristiwa Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II bukan pelanggaran HAM berat.
"Peristiwa Semanggi I Semanggi II, telah ada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat," ujar ST Burhanuddin, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, Kamis, 16 Januari 2020 -mengutip Medcom.id-.
Meskipun begitu, Jaksa Agung ST Burhanuddin berjanji menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Tapi, perkara harus memenuhi syarat formal dan materiel.
Jaksa Agung ST Burhanuddin. (istimewa)
Menurut Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) -saat itu-
Mahfud MD, Jaksa Agung ST Burhanuddin tidak pernah menyatakan tragedi Semanggi bukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Sikap Jaksa Agung terkait tragedi Semanggi merujuk dokumen DPR pada 2001.
"Sekarang menurut Kejaksaan, kalau masih menjadi masalah, Kejaksaan Agung siap menyelesaikan," tutur Mahfud.
Mahfud menegaskan bahwa pengusutan dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat pada kasus Semanggi I dan II tak memiliki batas waktu. Pasalnya, penyelesaian kasus pelanggaran HAM tidak mudah.
Menko Polhukam Mahfud MD. Foto: istimewa
Mahfud menjelaskan Komnas HAM dan Kejaksaan Agung menggunakan aturan perundang-undangan yang berbeda untuk menyelesaikan kasus HAM. Komnas HAM memakai Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, sedangkan Kejagung menggunakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini mengaku sudah memanggil pihak Kejaksaan Agung dan
Komnas HAM untuk meminta penjelasan status Semanggi I dan II yang disebut bukan pelanggaran HAM berat. Mahfud menilai isu itu bergulir lantaran ada kesalahpahaman.
"Akan ada penyelesaian yudisial dan nonyudisial. Kemarin di DPR ada pertanyaan itu ya dijawab, lalu timbul sedikit kesalahpahaman. Makanya saya undang satu per satu ke sini," pungkas dia.
Angin Segar dari Kepala Negara
Melansir Medcom.id, Pada 11 Januari 2023, Presiden Joko Widodo (
Jokowi) secara resmi mengakui ada 12 pelanggaran HAM berat di Indonesia sebelum kepemimpinannya. Dari 12 pelanggaran HAM berat itu, salah satunya adalah tragedi Semanggi II.
"Saya telah membaca dengan seksama laporan dari tim PPHAM, yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022. Saya menaruh simpati dan empati mendalam kepada para korban dan keluarga korban," tutur Jokowi.
Presiden Joko Widodo. Foto: Biro Pers Setpres.
Setahun berlalu, tragedi itu masih terkatung-katung. Melansir Medcom.id, Jokowi memastikan langkah yudisial akan dilakukan dalam menanggani kasus pelanggaran HAM berat. Pemerintah tengah mengupayakan melalui nonyudisial, dengan memberikan bantuan pemulihan untuk korban dan keluarga korban.
Jokowi memandang penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM berat tidak menyingkirkan mekanisme hukum. Ia menargetkan upaya pemulihan korban pelanggaran HAM berat melalui nonyudisial dapat rampung Desember 2023. Hingga akhir masa kepemimpinan Jokowi, penyelesaian HAM berat, masih menjadi PR.