Buku LKS yang terpaksa dibeli siswa di sekolah dengan dalih untuk kebutuhan pembelajaran. Dokumentasi/ Media Indonesia
Semarang: Setelah masalah seragam sekolah, masalah pendidikan sejumlah daerah di Jawa Tengah kembali diramaikan keributan kebijakan penjualan praktik penjualan Lembar Kerja Siswa (LKS) yang diduga merupakan kolusi antara pihak sekolah dengan penerbit.
Para siswa diminta membeli buku LKS hampir semua mata pelajaran yang dipergunakan untuk satu semester, sehingga beban berat yang harus dipikul orang tua wali murid semakin berat.
Buku LKS dalam satu paket untuk 12-13 mata pelajaran dijual kepada siswa dengan harga bervariasi Rp90 ribu-Rp130 ribu per paket yang dapat ditebus di koperasi sekolah atau toko yang ditunjuk oleh sekolah.
"Kami terpaksa membeli buku paket LKS karena semua guru meminta anak membeli," kata Dewi,45, orang tua siswa sebuah SMP negeri di Semarang, Jumat, 1 Agustus 2025.
Hal serupa juga diungkapkan Wahyuno,50, orang tua siswa SMP negeri di Pekalongan mengaku pada tahun ajaran baru ini beban orang tua murid, terutama murid baru terasa berat karena selain harus menebus seragam sekolah yang niksinta jutaan rupiah, juga harus membeli buku-buku LKS yang diminta para guru kepada murid.
Orang tua siswa lain di Kota Semarang Maryono mengaku merasakan hal ini, baru beberapa hari harus membelikan seragam sekolah untuk anaknya hingga Rp1,8 juta, kini harus menebus pembelian buku LKS dengan alasan agar siswa dapat mengikuti pelajaran, karena para guru menggunakan buku tersebut untuk panduan pelajaran.
"Katanya sekolah negeri dari SD hingga SMA gratis, tetapi kenyataannya orang tua tetap membayar seragam, buku dan berbagai iuran, apalagi ini mau kegiatan Agustusan, anak saya sudah diintruksikan iuran Rp50 ribu untuk karnaval," jelas Kartika jengkel.
Sementara itu seorang kepala sekolah di sebuah SMP negeri di Kabupaten Semarang mengaku penjualan LKS di koperasi sekolah dikakukan tanpa paksaan, sehingga siswa dapat membeli ataupun tidak. "Tidak ada keharusan, berbicara BOS jika dihitung masih kurang untuk memenuhi kebutuhan tersebut," imbuhnya.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang Bambang Pramusinto mengaku kaget adanya penjualan buku LKS di sekolah, karena sudah ditegaskan bahwa sekolah maupun komite sekolah dilarang memperjualbelikan KKS atau buku serupa dalam bentuk apapun, termasuk dengan dalih sukarela.
“Saya tegaskan lagi, meskipun disebut sukarela, tidak diperbolehkan memperjualbelikan buku di lingkungan sekolah," ujar Bambang Pramusinto.
Larangan memperjualbelikan LKS ataupun buku-buku sejenis, menurut Bambang Pramusinto, juga didasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016, yang secara jelas melarang satuan pendidikan dan komite sekolah untuk menjual buku atau LKS kepada siswa.