Pergantian Menkeu Jadi Babak Baru Kebijakan Fiskal Indonesia

Sri Mulyani dan Purbaya Yudhi Sadewa. Foto: Metrotvnews.com

Pergantian Menkeu Jadi Babak Baru Kebijakan Fiskal Indonesia

Naufal Zuhdi • 9 September 2025 10:56

Jakarta: Guru Besar Departemen Ekonomi Universitas Andalas Prof Syafruddin Karimi menyebutkan pergantian Menteri Keuangan (Menkeu) dari Sri Mulyani Indrawati ke Purbaya Yudhi Sadewa membuka babak baru dalam kebijakan fiskal Indonesia.
 
"Presiden Prabowo Subianto memilih Purbaya, ekonom lulusan Purdue University, untuk menggantikan Sri Mulyani yang selama ini dikenal sebagai simbol disiplin fiskal dan kredibilitas di mata pasar global. Sehari setelah dilantik, Purbaya menyatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar delapan persen bukanlah hal mustahil," ucap Syafruddin, dikutip Selasa, 9 September 2025.
 
Purbaya, sambung dia, hadir dengan gaya berbeda. Dengan latar belakang sebagai insinyur elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) dan ekonom Purdue membentuk pendekatan yang lebih kuantitatif, analitis, dan cenderung berani mengambil risiko.
 
"Pengalaman panjangnya di sektor swasta dan lembaga pemerintah memberinya perspektif pragmatis untuk menghubungkan model ekonomi dengan praktik kebijakan. Ketika ia menyatakan pertumbuhan delapan persen bukan mustahil, ia ingin menunjukkan dengan keberanian ekspansi, sinergi pemerintah dan swasta, serta desain kebijakan yang tepat, Indonesia bisa melampaui keterbatasan historisnya. Pernyataan ini jelas kontras dengan gaya Sri Mulyani yang cenderung realistis dan konservatif dalam menetapkan target," cetus dia.
 

Baca juga: Menkeu Purbaya Pede Ekonomi Indonesia Bakal Cerah Lagi dalam Tiga Bulan


(Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Foto: dok Istimewa)
 

Ubah skeptisisme jadi optimisme baru

 
Sementara itu, ia menilai pasar internasional yang sebelumnya percaya pada 'jangkar stabilitas' Sri Mulyani, kini harus menilai ulang konsistensi Indonesia.
 
"Jika Purbaya terlalu fokus pada ambisi angka tanpa memperhatikan kredibilitas fiskal, risiko pelemahan rupiah, naiknya yield obligasi, dan keluarnya arus modal akan semakin nyata. Sebaliknya, bila ia mampu meyakinkan pasar target pertumbuhan tinggi dibarengi dengan reformasi struktural, efisiensi belanja, serta iklim investasi yang kondusif, ia bisa mengubah skeptisisme menjadi optimisme baru," tegas Syafruddin.
 
Namun demikian, Syafruddin menekankan mencapai pertumbuhan ekonomi delapan persen bukanlah perkara mudah. Pasalnya, produktivitas tenaga kerja Indonesia masih rendah dan jebakan pendapatan menengah tetap menghantui.
 
Di sisi lain, infrastruktur logistik masih menjadi hambatan daya saing ekspor, basis pajak yang sempit membatasi ruang fiskal, sementara ketidakpastian global akibat perang dagang dan kebijakan tarif Amerika Serikat menekan prospek perdagangan.
 
"Meski demikian, optimisme Purbaya tidak bisa dianggap sia-sia. Pernyataannya memberi sinyal Indonesia tidak ingin puas dengan pertumbuhan lima persen yang stagnan selama dua dekade. Keberanian menawarkan visi ambisius bisa menjadi dorongan psikologis bagi sektor swasta, birokrasi, dan masyarakat luas," tutur dia.
 
"Pertanyaannya bukan hanya apakah delapan persen dapat tercapai, melainkan apakah Purbaya mampu menyatukan optimisme dengan disiplin fiskal yang diwariskan Sri Mulyani. Jika ia berhasil, Indonesia bisa membuka babak baru pembangunan berkelanjutan. Jika gagal, ambisi tinggi justru berisiko memicu instabilitas ekonomi," tutur Syafruddin menambahkan.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Husen Miftahudin)