Apindo Keluhkan Suku Bunga yang Masih Tinggi

Ketua Umum Apindo Shinta Widjaja Kamdani. MI/Insi Nantika Jelita.

Apindo Keluhkan Suku Bunga yang Masih Tinggi

M Ilham Ramadhan Avisena • 19 June 2025 12:29

Jakarta: Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) merespons Keputusan Bank Indonesia (BI) untuk menahan suku bunga acuan di level 5,50 persen. Meskipun dunia usaha memahami pentingnya menjaga stabilitas makroekonomi, tingginya suku bunga disebut menjadi penghambat utama ekspansi dan penciptaan lapangan kerja.

Ketua Umum Apindo Shinta Widjaja Kamdani menyebut langkah BI sebagai bentuk kehati-hatian yang dapat dimengerti, terutama dalam konteks tekanan global dan ketegangan geopolitik. Namun ia menekankan, stabilitas saja tidak cukup untuk menggerakkan sektor riil.

"Keputusan Bank Indonesia untuk mempertahankan suku bunga acuan di level 5,50 persen kami pandang sebagai langkah yang hati-hati dan prudent dalam menjaga stabilitas nilai tukar dan merespons ketidakpastian global serta eskalasi tensi geopolitik," ujarnya saat dihubungi, Kamis, 19 Juni 2025.

"Tetapi perlu ditekankan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak bisa hanya bertumpu pada stabilitas makro, melainkan juga membutuhkan dorongan konkret terhadap sektor riil dan investasi produktif," tambah Shinta.

Ia menerangkan, dalam kondisi suku bunga tinggi, biaya pendanaan menjadi mahal, memperlambat investasi baru dan membatasi kapasitas usaha untuk tumbuh. Terlebih lagi, suku bunga kebijakan BI tidak selalu langsung diterjemahkan menjadi suku bunga pinjaman yang terjangkau di lapangan.

"BI Rate tidak selalu langsung terefleksikan dalam suku bunga pinjaman riil yang diterima pelaku usaha sehari-hari, terutama jika tren pelonggaran suku bunga tidak berlanjut, atau jika tidak ada insentif dari pemerintah untuk mendorong sektor keuangan menurunkan bunga pinjaman atau mempercepat distribusi kredit ke sektor riil," tutur Shinta.

Menurutnya, kondisi dunia usaha saat ini ibarat menghadapi tekanan ganda: lemahnya permintaan karena daya beli masyarakat yang tertekan, dan mahalnya biaya pendanaan. Dalam kondisi seperti ini, efisiensi menjadi kewajiban, tetapi inovasi dan ekspansi sulit diwujudkan.

"Dunia usaha butuh oksigen untuk tumbuh, dan oksigen itu adalah likuiditas yang terjangkau, kepastian regulasi, serta kemudahan berusaha. Jika tidak ada keberanian untuk mendorong permintaan domestik dan menurunkan beban dunia usaha, maka pertumbuhan kita akan terus di bawah potensi yang ada," jelas Shinta.
 

Baca juga: 

Banyak Tekanan Eksternal, Keputusan BI Tahan Suku Bunga Acuan Dinilai Tepat



(Ilustrasi Bank Indonesia. MI/Ramdani)

Usulan Apindo buat dorong ekonomi

Sebagai solusi, Apindo mengusulkan sejumlah langkah konkret kepada otoritas moneter dan pemerintah. Pertama, memperkuat sinkronisasi kebijakan fiskal dan moneter, terutama dengan memperluas insentif fiskal seperti subsidi bunga, penjaminan kredit, hingga pembukaan akses ke blended finance dan pendanaan alternatif.

Kedua, mendorong pendalaman pasar keuangan agar dunia usaha tidak hanya bergantung pada kredit perbankan. Menurut Apindo, perlu ada diversifikasi instrumen seperti green bonds, pembiayaan berbasis ESG, dan dukungan khusus untuk sektor strategis seperti hilirisasi industri dan transisi energi.

Ketiga, Apindo menyoroti pentingnya reformasi struktural untuk menurunkan biaya ekonomi tinggi (high cost economy). Hal ini mencakup penyederhanaan perizinan, penyesuaian insentif fiskal, dan reformasi pasar tenaga kerja.

"Dalam hal ini, Apindo saat ini secara aktif terlibat bersama pemerintah melalui Satgas Peningkatan Daya Saing, Satgas Kemudahan dan Percepatan Perizinan, serta Satgas Perluasan Kesempatan Kerja dan Mitigasi PHK, guna memastikan bahwa reformasi berjalan implementatif dan menyentuh kebutuhan nyata dunia usaha di lapangan," jelas Shinta.

Apindo berharap agar kebijakan moneter ke depan memberikan ruang untuk pelonggaran suku bunga secara bertahap, sehingga suku bunga pinjaman nasional bisa mendekati rata-rata negara-negara ASEAN. Langkah ini dinilai krusial untuk memulihkan kepercayaan bisnis dan memacu ekspansi sektor-sektor padat karya dan UMKM yang paling terdampak.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Eko Nordiansyah)