Penetapan Tersangka Korupsi BBM Pertamina Diminta Lebih Hati-hati

Ilustrasi. Medcom

Penetapan Tersangka Korupsi BBM Pertamina Diminta Lebih Hati-hati

Siti Yona Hukmana • 16 April 2025 14:11

Jakarta: Penetapan tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengolahan dan distribusi bahan bakar minyak diminta lebih hati-hati. Sehingga, dapat lebih tepat dan tidak salah sasaran.

Direktur Eksekutif Institut Kajian Hukum Progresif (IKHP) Tegar Putuhena mengkritik penetapan tersangka terhadap salah satu vendor BBM. Menurut dia, vendor tidak memiliki kapasitas mengambil keputusan dan hanya menjalankan perintah berdasarkan kontrak sah dengan PT Kilang Pertamina Internasional (KPI).

“Jika pelaksana teknis dijadikan tersangka tanpa bukti bahwa ia menyimpang dari kontrak atau bertindak di luar kewenangan, maka itu bertentangan dengan prinsip hukum pidana,” ujar Tegar, di Jakarta, Rabu, 16 April 2025.

Tegar, yang juga seorang advokat, mengacu pada Pasal 183 KUHAP. Pasal itu menyatakan seseorang hanya dapat dipidana jika kesalahannya terbukti secara sah dan meyakinkan.

“Kalau vendor hanya menjalankan tugas legal, bagaimana bisa dibuktikan ada unsur kesengajaan atau niat jahat (mens rea)?” kata dia.

Menurut Tegar, pelaksana teknis yang hanya menjalankan pekerjaan berdasarkan perintah resmi dari pemegang otoritas tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana, kecuali dapat dibuktikan mereka turut merancang atau menginisiasi perbuatan melawan hukum.

“Dalam struktur hukum pidana, pelaksana yang tunduk pada perintah sah tidak dapat dijadikan pelaku kejahatan,” tegas dia.
 

Baca Juga: 

Kasus Pertamina, KPK-Kejagung Diminta Maksimalkan Pengembalian Kerugian Negara


Kejaksaan Agung telah menetapkan sejumlah tersangka dalam perkara ini. Antara lain berinisial MR, AW, dan IY dari pihak swasta, serta legal officer dan sejumlah pelaksana operasional vendor yang disebut terlibat dalam aktivitas distribusi dan blending BBM. Namun, sebagian tersangka disebut hanya berperan sebagai pelaksana teknis tanpa kewenangan kebijakan.

Tegar menekankan asas nullum delictum, nulla poena sine culpa, tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa kesalahan. “Pidana itu ultimum remedium. Kalau perkaranya administratif atau perdata, jangan dipaksakan jadi pidana," ujar dia.

Blending BBM merupakan proses legal dan lazim dalam industri migas, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas dan Permen ESDM Nomor 18 Tahun 2013. Proses ini bertujuan untuk meningkatkan mutu BBM agar sesuai standar nasional (SNI), dan bukan termasuk perbuatan melawan hukum.

Tegar juga mengingatkan penegakan hukum seharusnya tak menyasar pihak yang bukan pengambil kebijakan. Sebab, bukan hanya keadilan yang terganggu, tetapi kepastian hukum dan iklim usaha di sektor energi.

“Kepastian hukum yang terganggu juga akan berdampak pada kepastian investasi," kata dia.

Padahal, ujar Tegar, pemerintahan Prabowo Subianto sangat fokus pada sektor ekonomi dan investasi. Termasuk, giat mencari investor untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi.

"Jangan sampai ketidakpastian hukum justru menghambat pembangunan ekonomi dan investasi,” ujar dia.

Kejaksaan Agung menyatakan bahwa penyidikan tidak menyasar aktivitas blending BBM. “Jangan ada pemikiran bahwa seolah-olah minyak yang digunakan sekarang adalah minyak oplosan. Nah, itu enggak tepat,” ujar Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, Rabu, 26 Februari 2025.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Achmad Zulfikar Fazli)