Berebut Gelap dan Terang

Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar. Foto: MI/Ebet.

Berebut Gelap dan Terang

Abdul Kohar • 22 February 2025 05:38

NAMANYA Fidela Marwa Huwaida. Ia Presiden Keluarga Mahasiswa ITB Bandung. Karena masih mahasiswa di jenjang sarjana, jelas usianya masih masuk kategori generasi Z. Sah belaka bila ia mewakili zamannya.

Fidela dan para mahasiswa dari berbagai kampus termasuk yang ikut dalam gerakan tagar #IndonesiaGelap. Hari-hari ini ia sibuk menjawab dan berargumentasi ihwal gerakan para mahasiswa. Berbagai pertanyaan, bahkan gugatan, muncul. "Apa makna Indonesia gelap?", "Apakah Indonesia benar-benar gelap?", "Siapa yang gelap? Indonesia atau kalian?"

Saat menanggapi pertanyaan dan gugatan itu, Fidela mengungkapkan aksi tagar dan demonstrasi bertajuk #IndonesiaGelap itu sebagai akumulasi kemarahan. Siapa yang marah? "Rakyat dan mahasiswa. Bukan hanya mahasiswa, melainkan juga komponen masyarakat sipil. Rakyat marah karena kebijakan pemerintah hari ini yang serampangan. Kebijakan itu menjadikan rakyat sebagai kelinci percobaan," ujarnya dalam sebuah acara bincang-bincang yang disiarkan melalui kanal Youtube.

Fidela menyebutkan sejumlah kebijakan yang tiba-tiba muncul, begitu diprotes, lalu dicabut dengan narasi heroik seolah-olah jadi pahlawan. "Tidak ada kepastian, apakah berbagai kebijakan yang tidak prorakyat itu bakal ditiadakan seterusnya atau sekadar membuat tenang sementara. Soal efisiensi juga perlu konsistensi. Apakah kabinet yang gemuk itu contoh efisiensi? Jadi ini akumulasi. Aksi kami ialah demi menuntut evaluasi besar-besaran kebijakan yang tidak prorakyat itu," Fidela menjelaskan secara runut argumentasinya di forum itu.
 

Baca juga: Puncak Demo 'Indonesia Gelap', Ini Tuntutan BEM SI
 

Itulah bahasa khas anak muda: lugas, terbuka, keras, mungkin terasa ekstrem bagi sebagian kalangan. Menjadi kelaziman pula bila mereka yang menjadi tujuan kritik merasa panas kuping oleh suara keras, terbuka, dan lugas itu. Karena itu, ada yang merespons secara keras dan berdiri di titik ekstrem sebaliknya. Namun, ada yang menanggapinya dengan lebih adem.

Yang keras dan ekstrem itu, misalnya, yang mengatakan, "Bukan Indonesia yang gelap. Kau dan kalian yang menyebut Indonesia gelap itulah yang sejatinya gelap."

Namun, juru bicara Kantor Komunikasi Kepresidenan Ujang Komarudin membuat narasi tandingan dengan lebih adem. Ia membantah bahwa Indonesia gelap dengan menyebut Indonesia saat ini terang benderang. Menurut dia, hal tersebut bisa terlihat dari sejumlah indikasi, salah satunya pendidikan yang masih menjadi prioritas pemerintah.

"Indonesia ini masih bercahaya, masih terang benderang, tidak ada hal-hal yang gelap. Yang pertama, indikasinya adalah pendidikan menjadi prioritas pemerintah, tidak ada pemangkasan apa pun. Jadi, beasiswa tetap diberikan kepada yang berhak. Kemudian, UKT (uang kuliah tunggal) tidak ada kenaikan," ujar Ujang, yang sebelum jadi juru bicara aktif sebagai dosen itu.
 
Baca juga: Ramai 'Indonesia Gelap', Apa Sih Maksudnya?

Lalu, indikasi selanjutnya ialah kesehatan rakyat yang menjadi agenda penting negara. Ujang menyebut rakyat kini bisa mengecek kesehatan mereka secara gratis. Indikasi ketiga, lanjut Ujang, pemerintah mengalihkan anggaran yang berpotensi bocor untuk program yang bermanfaat bagi rakyat.

Dia menyebut efisiensi dari alat tulis kantor (ATK) saja bisa mencapai Rp40 triliun, yang bisa dimanfaatkan untuk membeli gabah petani sehingga bisa menyelamatkan jutaan petani di seluruh Indonesia. Lalu yang keempat, ekonomi Indonesia semakin kuat ada di atas rata-rata capaian ekonomi dunia.

Dia mengeklaim angka kemiskinan di Indonesia pun menurun ekstrem. "Terakhir, paket stimulus ekonomi di Ramadan sudah di-publish oleh Bapak Presiden. Jadi, kami yakin apa yang dilakukan Bapak Prabowo untuk terus menjadikan Indonesia tetap terang benderang, tidak ada istilah gelap," imbuh Ujang.

Kiranya debat dua narasi di titik ekstrem itu bagus, tapi mesti ditarik ke tengah untuk ditemukan titik keseimbangan. Sekadar berebut narasi 'gelap' melawan 'terang' tidak akan ditemukan ujungnya. Ia memang memberi pelajaran penting tentang pentingnya perdebatan untuk checks and balances, tapi bisa 'terjerumus' ke dalam debat kusir bila tidak ditanggapi secara bijak.
 
Baca juga: Aksi Indonesia Gelap Digelar di Sejumlah Daerah

Situasi itu mengingatkan saya seperti di era 1990-an, di era Orde Baru. Saat itu, cendekiawan Nurcholish Madjid mengibaratkan 'Indonesia sedang berada dalam terowongan gelap yang belum diketahui ada cahaya di ujungnya'. Ketika itu, Cak Nur juga menyebut Indonesia dalam situasi grid lock, atau saling mengunci.

Cak Nur mengibaratkan posisi saling mengunci itu layaknya lampu lalu lintas yang mati di perempatan, di tengah jalanan yang ramai dan tak ada polisi yang mengatur. Karena itu, semua kendaraan berebut saling mendahului, tidak ada yang mau mengalah. Mereka saling membunyikan klakson keras-keras. Namun, justru kondisi saling mengunci yang terjadi, bukannya kemacetan yang terurai.

Pada situasi seperti itu, yang dibutuhkan ialah adanya pihak yang ikhlas turun dari kendaraan untuk mengatur lalu lintas sehingga semua kendaraan pelan-pelan bisa berjalan kembali. Jadi, hal yang sama terjadi pada perdebatan soal gelap dan terang Indonesia ini. Yang dibutuhkan bukan berebut, atau bahkan memonopoli, narasi. Mesti ada 'keikhlasan' kedua pihak untuk tidak berdiri di posisi ekstrem masing-masing agar tidak terjadi grid lock.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Anggi Tondi)