Jakarta: Sudah menjadi rahasia umum bahwa konflik berkepanjangan di Gaza telah menimbulkan ribuan korban jiwa warga sipil di Gaza.
Berandil sebagai balasan terhadap serangan 7 Oktober 2023, Pasukan Pertahanan Diri Israel (IDF) memasuki wilayah Palestina tersebut yang dianggap sebagai operasi besar memberantas terorisme di Palestina, khususnya menargetkan kelompok militan Islam Hamas yang secara de facto kini menjadi penguasa di Gaza sejak akhir tahun 2000-an.
Namun, banyak korban diluar anggota Hamas disini telah menimbulkan beberapa tuduhan dari aktor-aktor internasional. Beberapa pihak menuduh Israel melakukan kejahatan perang, bahkan ada yang menuduh mereka dengan sengaja menargetkan anak-anak dan perempuan Gaza, sebagai bagian dari program yang bersifat genosida demi mengosongkan dan menguasai daerah kekuasaan Hamas tersebut.
Media Israel Hareetz, beberapa hari lalu, mengeluarkan laporan investigatif terhadap IDF. Menurut temuan mereka, IDF dituduh dengan sengaja menargetkan warga sipil yang tengah mengantri untuk mendapatkan bantuan makanan, ditengah kelaparan yang merajarela yang disebakan operasi militer Israel yang berkepanjangan. Berikut penjelasannya.
Perintah Menembak Warga Sipil Pencari Bantuan: Praktik Harian di Gaza
Melansir Haaretz pada Jumat, 27 Juni 2025, sejumlah perwira dan prajurit Israel Defense Forces (IDF) memberikan kesaksian bahwa mereka mendapat perintah langsung dari komandan—termasuk Brigjen Yehuda Vach—untuk menembak dan menembaki warga Palestina yang mencari bantuan di Gaza, meski warga tersebut tidak menimbulkan ancaman.
"Ini ladang pembantaian," ungkap salah satu prajurit.
"Di tempat saya bertugas, setiap hari antara satu hingga lima orang tewas. Mereka diperlakukan seperti kekuatan musuh—tidak ada pengendalian massa, tidak ada gas air mata—hanya tembakan langsung dengan semua senjata yang ada: senapan mesin berat, peluncur granat, mortir. Setelah pusat distribusi dibuka, barulah tembakan dihentikan dan warga boleh mendekat. Cara komunikasi kami adalah lewat tembakan," lanjutnya.
Menurut prajurit tersebut, aktivitas ini secara informal disebut sebagai "Operasi Salted Fish"—mengacu pada permainan anak-anak Israel, dag maluach, yang serupa dengan permainan 'red light, green light'.
Salah satu perwira cadangan yang baru saja menyelesaikan masa tugasnya di Gaza mengatakan, "Hilangnya nyawa manusia di sini tidak berarti apa-apa. Bahkan, tidak lagi disebut 'insiden nahas', seperti dulu."
Testimoni Perwira: "Kami Hanya Menjalankan Perintah"
Seorang perwira cadangan di Divisi 252—yang banyak anggotanya menuduh Brigjen Vach pernah berkata "tidak ada warga sipil di Gaza"—menyampaikan pengalamannya selama bertugas di Gaza.
Perwira tersebut mengaku pernah diperintahkan menembakkan artileri ke arah kerumunan yang berkumpul di dekat lokasi distribusi bantuan. Ia menjelaskan bahwa secara teknis, tembakan artileri seharusnya menjadi tembakan peringatan, entah untuk mendorong mundur warga atau menghentikan mereka agar tidak mendekat.
Namun, menurutnya, dalam praktik di lapangan, penembakan artileri sudah menjadi standar.
"Setiap kali kami menembak, selalu ada korban tewas atau luka, dan kalau ada yang bertanya kenapa harus pakai artileri, tidak pernah ada jawaban yang jelas. Bahkan, bertanya pun kadang dianggap menyebalkan oleh para komandan," ungkapnya.
Seorang perwira senior yang menyaksikan lebih dari 10 warga sipil tewas menjelaskan situasi yang ia lihat.
Ketika mereka bertanya mengapa pasukan membuka tembakan, para prajurit hanya menjawab bahwa itu adalah perintah dari atas dan warga sipil dianggap sebagai ancaman. Perwira tersebut menegaskan bahwa orang-orang itu tidak berada dekat dengan pasukan dan sama sekali tidak membahayakan.
"Itu sia-sia—mereka hanya dibunuh, tanpa alasan. Pembunuhan orang tak bersalah sudah jadi hal biasa. Kami terus-menerus diberitahu bahwa tidak ada nonkombatan di Gaza, dan pesan itu benar-benar tertanam di benak pasukan," ungkapnya, mengutip laporan Haaretz.
Normalisasi Kekerasan dan Pengabaian Moral
Dalam salah satu pertemuan tingkat tinggi militer Israel yang membahas penggunaan artileri terhadap kerumunan pencari bantuan, seorang sumber militer mengungkapkan bahwa diskusi berlangsung seolah-olah penggunaan artileri di tengah kerumunan warga sipil adalah hal yang wajar.
"Seluruh percakapan hanya berkisar pada apakah penggunaan artileri itu benar atau salah, tanpa ada yang bertanya mengapa senjata sebesar itu dibutuhkan dari awal. Yang mereka pikirkan hanyalah soal legitimasi untuk terus beroperasi di Gaza. Aspek moral hampir tidak pernah dipertimbangkan. Tidak ada yang bertanya kenapa puluhan warga sipil yang mencari makanan harus tewas setiap hari," katanya.
Seorang pejabat hukum militer yang menghadiri pertemuan itu juga menegaskan klaim bahwa ini merupakan kasus terpisah tidak memiliki basis apapun.
"Klaim bahwa ini hanya kasus terpisah tidak sesuai dengan fakta di mana granat dijatuhkan dari udara dan mortir serta artileri ditembakkan ke warga sipil. Ini bukan soal satu dua orang yang tewas—kita bicara tentang puluhan korban setiap hari," ungkapnya, mengutip Haaretz pada 27 Juni 2025.