Mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong. MI/Tri Subarkah
Devi Harahap • 31 October 2024 20:01
Jakarta: Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan, penetapan tersangka korupsi gula yang menjerat mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong mengandung kejanggalan. Menurutnya, kebijakan impor gula bukan hanya keputusan satu menteri namun keputusan kolektif.
“Menteri-menteri perdagangan lain sejak 2013, seperti Enggartiasto Lukita, Agus Suparmanto, dan Muhammad Lutfi kita juga tahu semuanya memberikan izin impor gula dengan alasan yang beragam, dari stabilisasi harga hingga menjaga pasokan dalam negeri tapi kenapa hanya Tom Lembong yang ditahan, ini jadi standar ganda,” kata Achmad kepada Media Indonesia pada Kamis, 31 Oktober 2024.
Achmad menjelaskan, pola kebijakan impor gula harus dievaluasi secara total, tak hanya pada masa satu menteri namun juga semua menteri. Menurutnya, hal ini semakin aneh mengingat data tahun-tahun berikutnya menunjukkan pola kebijakan yang sama, meskipun pemerintah sering mengklaim swasembada gula atau surplus gula, seperti pada 2018, 2021, dan 2022.
“Namun, izin impor terus diberikan dan bahkan mencapai angka tertinggi pada 2022. Kondisi ini mengundang spekulasi bahwa ada unsur tebang pilih dalam proses hukum terhadap Lembong,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Achmad menyampaikan bahwa izin impor telah diberlakukan oleh berbagai Menteri Perdagangan dalam periode tersebut. Secara logis kebijakan, maka seluruh pihak terkait termasuk menteri-menteri lain, harus diperiksa.
“Kebijakan ini hanya membawa Lembong ke meja hijau, sementara menteri-menteri lain yang memprakarsai izin serupa tetap bebas dari tindakan hukum. Dengan hanya menahan Lembong, proses hukum tampak tidak konsisten,” ujarnya.
Baca juga:
Belum Ditemukan Aliran Uang ke Tom Lembong, Begini Penjelasan Kejagung |