Sidang sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta. MI/Devi Harahap
Jakarta: Lembaga pemantau pemilihan umum (Pemilu) dari Yayasan Citta Loka Taru menggugat perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (PHP Pilkada) Kabupaten Nabire 2024 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pada Sidang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 225/PHPU.BUP-XXIII/2025 yang dilaksanakan panel 3, dengan dikomandoi Hakim Konstitusi Arief Hidayat mempertanyakan validitas terkait syarat akreditasi lembaga pemantau selaku pemohon.
“Apakah lembaga pemantau Anda memiliki syarat akreditasi sertifikat akreditasi?,” kata Arief di ruang sidang MK, Jakarta, Rabu, 15 Januari 2025.
Perwakilan Yayasan Citta Loka Taru, Delpedro Marhaen Rismansyah, menyampaikan pihaknya hanya memiliki akreditas untuk tingkat provinsi. “Untuk di tingkat provinsi kami memiliki sertifikat akreditas, tetapi untuk tingkat kabupaten kami tidak memilikinya,” kata Delpedro.
Mendengar jawaban tersebut, Hakim Arief meminta penjelasan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Nabire terkait validitas lembaga pemantau pemilu tersebut.
“Apakah boleh kalau akreditasinya di tingkat provinsi tapi kemudian dia menjadi pemantau di tingkat kabupaten?” tanya Hakim Arief.
Pihak KPU menerangkan menurut peraturan KPU Nomor 17 Tahun 2014, non peserta pilkada dalam hal ini pemantau pemilu, dapat mengajukan gugatan ke MK hanya dengan akreditasi sesuai level jenjang pemilihan.
“Kalau lembaga pemantau itu terdaftar dan terakreditasi di provinsi, maka dia harus memantau di tingkat provinsi untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur. Namun, kalau dia memantau di tingkat kabupaten kota, harus akreditasinya di KPU tingkat Kabupaten/Kota,” ujar perwakilan dari KPU.
Selain itu, KPU menjelaskan lembaga pemantau pemilu hanya bisa mengajukan gugatan untuk wilayah pemilihan dengan calon tunggal. Sedangkan, di Kabupaten Nabire tidak ada calon tunggal.
Namun, Delpedro meminta majelis hakim untuk dapat mempertimbangkan beberapa gugatan yang disampaikan sebagai pihak non peserta pilkada. Dia mengatakan tidak adanya akreditasi dan bukan paslon tunggal sudah dijelaskan sebagai kedudukan hukum permohonan.
“Saya yakini majelis hakim konstitusi juga sudah membacanya dengan sekiranya majelis hakim bisa menangguhkan ihwal kedudukan hukum pemohon, berkaitan dengan temuan yang kami telah paparkan dan sampaikan dalam permohonan dan perbaikan permohonan. Sejauh ini kami masih mempunyai legal standing,” ujar dia.
Sementara itu, kuasa hukum pemohon Hasnu menyampaikan ada enam temuan pelanggaran di Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati (Pilbup) Kabupaten Nabire. Temuan pertama adalah pelanggaran penyelenggara Pilbup Kabupaten Nabire di lima tempat pemungutan suara (TPS).
Pelanggaran tersebut mengakibatkan digelarnya pemungutan suara ulang (PSU) di TPS 7 Oyehe (499 DPT), TPS 12 Karang Mulia (465 DPT), TPS 9 Karang Tumaritis (327 DPT), TPS 9 Siriwini (614 DPT), dan TPS 11 Siriwini (462 DPT).
“Memang terjadi pemungutan suara ulang di lima TPS, Yang Mulia. Akan tetapi, sekali lagi yang kami lihat bukan pada konteks demokrasi prosedural, akan tetapi demokrasi substansial, pesan penting yang kami sampaikan adalah ini bagian dari sistem tata kelola yang tidak baik,” ujar Hasnu.
Temuan kedua, kata Hasnu, pelanggaran netralitas pejabat negara dan aparatur sipil negara (ASN). Terdapat dugaan ketidaknetralan Kepala Dinas Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kabupaten Nabire untuk pendukung pasangan calon nomor urut 2. Dugaan dukungan tersebut juga dilakukan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Nabire.
Pelanggaran ketiga, kata Hasnu, berkaitan dengan pelanggaran netralitas dan profesionalitas penyelenggara Pilkada. Bukti tidak netral dan tidak profesionalnya KPU Kabupaten Nabire dibuktikan dengan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terkait tidak menggelar rapat pleno dalam menetapkan Sekretariat Panitia Pemilihan Distrik (PPD) yang tidak memenuhi syarat dan penganiayaan Sekretaris KPU Kabupaten Nabire.
Keempat, kegagalan fungsi pengawasan dan tindak lanjut pelanggaran Pilkada oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Selain itu, pelanggaran kelima, adanya intimidasi dan kekerasan dalam pleno rekapitulasi perolehan suara yang dilakukan oleh calon bupati nomor urut 1, Martinus Adii di TPS 5 Distrik Nabire Kota.
“Terakhir poin keenam, tentang kompleksitas pemilihan umum di tanah Papua. Terhadap persoalan itu ada tujuh hal, mulai dari pendaftaran, masa kampanye, distribusi logistik Pilkada, masa tenang, dan pemungutan suara, hingga penghitungan. Bahkan pasca-penetapan paslon terpilih melalui persidangan di Mahkamah Konstitusi,” ujar Hasnu.
Dalam konteks pelaksanaan pemilihan umum di tanah Papua, dia meminta Majelis Hakim tidak saja melihat dalam konteks demokrasi prosedural, namun dapat menyentuh demokrasi substansial.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta MK membatalkan Keputusan KPU Kabupaten Nabire Nomor 580 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Nabire Tahun 2024.
Pemohon juga meminta Mahkamah memerintahkan KPU Kabupaten Nabire untuk mengulang tahapan penyelenggaraan, yaitu pengumuman pendaftaran pasangan calon sampai penetapan pasangan calon terpilih dan memerintahkan Bawaslu Kabupaten Nabire untuk melaksanakan tugas dan wewenang yang dimiliki dalam tahapan penyelenggaraan Pilbup Kabupaten Nabire.
“Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk memerintahkan KPU Republik Indonesia untuk melakukan supervisi dan koordinasi dengan KPU Papua Tengah dan KPU Kabupaten Nabire dalam rangka pelaksanaan putusan MK,” jelas Hasnu.
Pemohon lebih lanjut meminta MK agar memerintahkan Bawaslu Republik Indonesia untuk melakukan supervisi dan koordinasi dengan Bawaslu Papua Tengah dan Bawaslu Kabupaten Nabire dalam rangka pelaksanaan putusan MK ini.