Pacu Jalur. (Dok. Pemkab Kuantan Singingi)
Jakarta: Di tengah pesatnya arus modernisasi, tradisi Pacu Jalur tetap bertahan sebagai salah satu warisan budaya takbenda Indonesia yang terus hidup dan berkembang. Tradisi ini berasal dari Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau, dan kini tidak hanya menjadi agenda tahunan lokal, tapi juga telah menjelma sebagai festival kebanggaan nasional yang menarik perhatian dunia.
Popularitas Pacu Jalur semakin meluas seiring berkembangnya era digital. Dari tradisi sungai yang bersifat lokal, kini Pacu Jalur menjelma menjadi tontonan internasional. Aksi anak-anak penari di ujung perahu yang viral melalui tren "aura farming" telah mendorong nama Kuansing dikenal luas, bahkan hingga mancanegara.
Tak hanya masyarakat setempat, tokoh publik nasional pun turut meramaikan, termasuk Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang menirukan gaya mereka di media sosial.
Namun, apa sebenarnya asal-usul dan makna dari tradisi ini? Berikut penjelasannya:
Sejarah Pacu Jalur
Foto: Kegiatan Pacu Jalur tahun 1900-an. (Wikimedia Commons)
Melansir laman Kota Jalur,
Tradisi Pacu Jalur telah ada sejak abad ke-17, bermula sebagai sarana transportasi sungai oleh masyarakat Rantau Kuantan. Jalur, sebutan untuk perahu panjang yang digunakan dalam perlombaan ini, awalnya dipakai untuk mengangkut hasil bumi seperti pisang dan tebu dari hulu ke hilir Sungai Kuantan.
Saat itu, jalur menjadi alat transportasi vital karena belum adanya sarana darat yang memadai. Jalur bahkan mampu membawa hingga 60 orang, menjadikannya penting dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.
Seiring perkembangan waktu, jalur tak lagi sekadar alat angkut. Perahu mulai diberi ornamen artistik seperti kepala ular, buaya, atau harimau, serta dihiasi payung, selendang, dan gulang-gulang tempat juru mudi berdiri.
Jalur berhias ini menjadi simbol status sosial dan hanya digunakan oleh kaum bangsawan atau pemimpin adat, menandai pergeseran fungsinya menjadi lambang kehormatan dan kebesaran.
Sekitar satu abad kemudian, Pacu Jalur berkembang menjadi ajang perlombaan. Awalnya digelar untuk memperingati hari besar Islam di kampung-kampung sepanjang Sungai Kuantan.
Pada era kolonial Belanda, lomba ini dijadikan bagian dari perayaan ulang tahun Ratu Wilhelmina setiap 31 Agustus, berlangsung selama 2–3 hari. Setelah kemerdekaan, perayaan ini dialihkan menjadi bagian dari Hari Kemerdekaan Republik Indonesia setiap Agustus.
Menurut catatan daerah, lomba Pacu Jalur sudah tercatat sejak 1903. Saat festival berlangsung, ratusan jalur ikut serta dan Teluk Kuantan dipadati ribuan masyarakat maupun perantau. Jalanan macet, pelataran rumah dipenuhi tamu, dan kota berubah menjadi pusat keramaian budaya.
Popularitasnya menjadikannya magnet wisata budaya yang konsisten menyedot perhatian, bahkan dari mancanegara. Pemerintah Kabupaten Kuansing terus berkomitmen mengembangkan ajang ini dengan melibatkan komunitas adat dan dukungan infrastruktur agar Pacu Jalur dapat bersinar di panggung global.
Makna Filosofis dan Sakral
Melansir laman Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Pacu Jalur diyakini sebagai simbol dari puncak pencapaian masyarakat selama setahun. Dalam perspektif masyarakat Kuansing, ajang ini bukan hanya perlombaan, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap segala usaha dan perjuangan hidup yang dilakukan sepanjang tahun.
Tak heran jika antusiasme masyarakat begitu tinggi dan acara ini senantiasa ditunggu-tunggu.
Bahkan dalam kepercayaan lokal, kemenangan dalam lomba bukan hanya ditentukan oleh kekuatan fisik atau keahlian mendayung, tetapi juga oleh kekuatan spiritual dari pawang atau dukun jalur. Dari pemilihan kayu hingga ritual sebelum perlombaan, seluruh proses diwarnai oleh unsur magis.
Para pembuat jalur memilih kayu gelondongan dari hutan dengan penuh kehati-hatian dan melalui ritual khusus sebagai bentuk penghormatan terhadap alam. Hal ini mencerminkan kesadaran ekologis nenek moyang yang mempertimbangkan keseimbangan alam sebelum menebang pohon.
Rangkaian kegiatan seperti semah dan maelo jalur memperlihatkan adanya hubungan spiritual yang erat antara manusia, alam, dan leluhur. Bahkan Pacu Jalur dianggap sebagai ajang adu kekuatan spiritual antar-dukun jalur. Dalam konteks ini, perahu bukan hanya alat transportasi, melainkan simbol sakral yang menyatukan elemen fisik dan batiniah masyarakat Kuansing.
Unsur spiritual ini menjadi penegas bahwa Pacu Jalur bukan semata kompetisi fisik, melainkan refleksi relasi manusia dengan alam dan leluhur.
Festival Rakyat dan Wisata Budaya
Pacu Jalur diselenggarakan di Tepian Narosa, Sungai Batang Kuantan, Teluk Kuantan. Setiap tahunnya, ribuan warga lokal hingga wisatawan mancanegara tumpah ruah menyaksikan festival ini.
Selain perlombaan jalur, festival ini juga dimeriahkan dengan pertunjukan seni tradisional seperti Randai Kuansing, tari daerah, serta Pekan Raya yang menampilkan kuliner dan kerajinan khas Kuantan Singingi.
Tahun demi tahun, festival ini tidak hanya menghadirkan kemeriahan lomba, tetapi juga membangkitkan geliat ekonomi lokal, dari sektor UMKM, pariwisata, hingga industri kreatif. Kehadiran penonton dari berbagai daerah turut memperkuat solidaritas antarwilayah serta menjadi medium promosi kebudayaan Indonesia ke tingkat internasional.
Pacu Jalur bukan sekadar perlombaan perahu, tetapi manifestasi kebudayaan yang mencerminkan jati diri masyarakat Kuansing. Dengan perpaduan antara
tradisi, seni, spiritualitas, dan pariwisata, Pacu Jalur menjadi bukti bahwa budaya lokal bisa bertahan dan bersinar di pentas global.